Powered By Blogger

Senin, 17 Juni 2013

Makalah Tentang Hukum Pendakwah Wanita


Hukum Pendakwah Wanita
Sebelum kita membahas hukum pendakwah wanita, kami akan membahas pengertian dari dakwah itu sendiri.
Menurut al-Bustaniy, perkataan dakwah adalah perkataan Arab “da’a” yang pada asalnya bererti seruan, panggilan, jemputan atau undangan. Manakala dari segi istilah pula, para ulama’ telah mengemukakan beberapa definisi.
Menurut Ghalwasy, perkataan dakwah mempunyai dua pengertian, yaitu agama Islam dan kegiatan menyebarkan agama Islam. Sheikh Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan pula menyatakan bahawa dakwah ialah panggilan atau seruan ke jalan Allah Ta’ala, yaitu agama Islam, agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Manakala menurut Al-Ansari, dakwah ialah usaha membentuk perbuatan atau percakapan untuk menarik manusia kepada kebaikan dan mendapat petunjuk Allah Ta’ala dalam kehidupan mereka.
Oleh yang demikian dapat disimpulkan bahwa, dakwah ialah seruan untuk melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan ke arah mendapat petunjuk Allah Ta’ala dalam kehidupan seharian.
Menurut Al-Ghazali,dakwah adalah satu program yang lengkap, merangkum semua ilmu pengetahuan yang diperlukan oleh manusia untuk menjelaskan tujuan dan matlamat hidup.
Dakwah adalah tugas utama para rasul dan mereka ini diutuskan oleh Allah Ta’ala untuk menyampaikan risalah dakwah kepada seluruh alam.
Sebagaimana Firman Allah Ta’ala Maksudnya:
“Hai nabi, sesungguhnya kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa khabar gembira dan pemberi peringatan dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izinNya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi”.
al-Ahzab (33):45-46
Selepas Rasulullah s.a.w wafat, umat Islam telah diperintahkan oleh Allah Ta’ala supaya meneruskan tugas baginda yang murni itu agar ajaran Islam dapat berkembang keseluruh alam dengan lebih sempurna.
Maka dapat disimpulkan bahwa, pendakwah ialah orang yang menyeru manusia ke jalan Allah Ta’ala dengan menyuruh manusia melakukan perkara-perkara yang ma’ruf dan menjauhi perkara-perkara yang mungkar.
Lalu bagaimana hukum pendakwah wanita, apakah diperbolehkan atau tidak? Kami berpendapat bahwa pendakwah wanita diperbolehkan dengan alasan bahwa suara wanita menurut Imam Syafi’i bukan merupakan suatu aurat yang perlu ditutupi.
Pendapat yang ashoh dalam madzhab syafi'i menyatakan bahwa suara wanita bukanlah aurot, karena istri-istri Nabi sendiri biasa meriwayatkan hadits kepada para lelaki, selain itu, dizaman nabi ketika ada seorang wanita meminta penjelasan tentang persoalan agama, para wanita menyampaikannya langsung pada Nabi, seperti dikisahkan dalam satu  hadits, sebagai berikut :
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ، لَا يُعْطِينِي مِنَ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ، فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ

"Dari ‘Aisyah berkata : Hindun bintu ‘Utbah yakni istri Abu Sufyan datang menemui Rasulullah saw lalu dia berkata : wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan itu adalah laki-laki yang pelit (bakhil), dia tidak memberi nafkah kepada saya yang mencukupi kebutuhan saya maupun anak saya kecuali jika aya mengambil dari harta dia tanpa sepengetahuannya. Apakah perbuatan saya itu dosa? Maka Rasulullah saw menjawab : ambillah olehmu dari harta dia secukupnya hingga akan dapat memenuhi kebutuhan dirimu dan anakmu." (Shohih Muslim, no.1714)
Dengan adanya  hadits diatas, jumhur ulama sepakat bahwa suara wanita itu bukan aurat. Sehingga laki-laki asing yang bukan mahramnya boleh mendengar suara seorang wanita dewasa. Sehingga mendengar wanita berbicara atau bersuara, tidaklah termasuk hal yang terlarang dalam Islam.
Di antara dalil bahwa suara wanita bukan aurat adalah bahwa para istri Nabi berbicara langsung dengan para shahabat, tanpa menggunakan perantara mahram atau juga tidak dengan tulisan.Ketika ibunda mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan hadist dari Rasulullah SAW, beliau tidak menuliskannya di dalam sebuah makalah atau buku, melainkan beliau berbicara langsung kepada para shahabat Rasulullah SAW. Padahal beliau termasuk perawi hadits yang sangat produktif, sehingga bisa kita bayangkan bahwa sosok beliau adalah seorang guru atau dosen agama wanita yang banyak berceramah atau memberi kuliah di depan para shahabat lainnya. Bahkan hampir semua hadits tentang fiqih wanita, didapat oleh para shahabat dari kuliah-kuliah yang disampaikan oleh Aisyah ra.
Semua ini menunjukkan bahwa tidak ada larangan dalam syariah untuk mendengar suara wanita. Sebab kalau suara wanita dikatakan sebagai aurat, seharusnya kita tidak akan pernah menemukan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah dan ummahatul mukminin lainnnya. Namun kenyataannya, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh istri-istri nabi SAW sangat banyak menghiasi kitab-kitab hadits.
Demikian juga klta ketahui bahwa Rasulullah SAW berbicara langsung juga dengan para wanita shahabiyah, juga tidak menggunakan perantaraan atau pun tulisan. Bahkan ketika Rasulullah SAW berbai’at, beliau berbicara dengan para wanita secara langsung. Tidak lewat surat atau tulisan sebagaimana yang sering kita lihat di zaman sekarang ini. Tentunya kita ingat bahwa Rasulullah SAW punya satu hari khusus untuk mengajarkan para wanita ilmu-ilmu agama. Dan pengajaran ini diberikan langsung oleh Rasulullah SAW tanpa perantaraan para istrinya. Beliau berbicara dan berdialog secara langsung dengan para wanita.
Lebih jauh lagi, kita pun mendapatkan riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW dan beberapa shahahat diriwayatkan pernah mendengar nyanyian yang dinyanyikan para wanita anshar. Dan beliau tidak melarang mereka dari bernyanyi. Lepas dari perbedaan para ulama dalam menetapkan hukum nyanyian.
Maka dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarang wanita bersuara di depan orang laki-laki, karena suara mereka bukan termasuk aurat. Dan hal ini sudah sampai kepada suara mayoritas dari nyaris hampir semua ulama. Boleh dikatakan bahwa jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa suara seorang wanita pada dasarnya bukan aurat.
Batasan-batasan wanita saat berdakwah, seorang wanita yang identik dengan batasan-batasan dalam melakukan sesuatu hal harus berdasarkan hukum-hukum Islam yang berlaku, batasa-batasan tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Bagi seorang wanita hendaknya tidak merendahkan/melembutkan suaranya didepan laki-laki lain (laki-lakiyang bukan mahromnya) agar tidak menimbulkan fitnah. Alloh berfirman :

 فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ

"Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya." (Q.S. Al-Ahzab : 32)
 Yang dimaksud dengan tunduk di sini ialah berbicara dengan sikap yang menimbulkan keberanian orang bertindak yang tidak baik terhadap mereka. Sedangkan  yang dimaksud dengan dalam hati mereka ada penyakit Ialah: orang yang mempunyai niat berbuat serong dengan wanita, seperti melakukan zina. Karena itulah, meskipun suara wanita bukanlah aurot, tapi para ulama' menetapkan bahwa apabila orang yang mendengarnya takut menimbulkan fitnah atau merasa ladzdzah (enak), maka diharomkan baginya mendengar suara seorang wanita.
2.      Bila dalam bersuara itu para wanita melakukan rayuan, atau mendesah-desahkan suaranya, apalagi bergoyang pinggul yang akan melahirkan birahi  para lelaki, sampailah kepada keharamannya. Sebab itu sudah merupakan bagian dari fitnah wanita. Jadi yang mengharamkan suara wanita, karena di balik itu ada fitnah dan madharat yang hendak dijauhi.
3.      Apabila dalam berdakwah berkewajiban menutupi auratnya sebagai seorang wanita muslimah. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a.       Bulu Kening
Menurut riwayat Bukhari, Rasullulah SAW melaknat perempuan yang mencukur atau menipiskan bulu kening atau meminta supaya dicukurkan bulu kening.
b.      Kaki (tumit kaki)
"Dan janganlah mereka (perempuan) membentakkan kaki (atau mengangkatnya) agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan." (An-Nur: 31)
c.       Wangian
"Siapa sahaja wanita yang memakai wangi-wangian kemudian melewati suatu kaum supaya mereka itu mencium baunya, maka wanita itu telah dianggap melakukan zina dan tiap-tiap mata ada zina." (Riwayat Nasaii, Ibn Khuzaimah dan Hibban).
d.       Dada
"Hendaklah mereka (perempuan) melabuhkan kain tudung hingga menutupi dada-dada mereka." (An-Nur : 31)
e.        Gigi
Rasullulah SAW melaknat perempuan yang mengikir gigi atau meminta supaya dikikirkan giginya. (Riwayat At-Thabrani)
"Dilaknat perempuan yang menjarangkan giginya supaya menjadi cantik, yang mengubah ciptaan Allah." (Riwayat Bukhari dan Muslim).
f.        Muka dan Tangan
Asma Binti Abu Bakar telah menemui Rasullulah SAW dengan memakai pakaian yang tipis. Sabda Rasullulah SAW:
"Wahai Asma! Sesungguhnya seorang gadis yang telah berhaid tidak boleh baginya menzahirkan anggota badan kecuali pergelangan tangan dan wajah saja." (Riwayat Muslim dan Bukhari).
g.       Tangan
"Sesungguhnya kepala yang ditusuk dengan besi itu lebih baik daripada menyentuh kaum yang bukan sejenis yang tidak halal baginya"(Riwayat At Tabrani dan Baihaqi).
h.       Mata
"Dan katakanlah kepada perempuan mukmin hendaklah mereka menundukkan sebahagian dari pandangannya." (An Nur : 31).
Sabda Nabi SAW, "Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya. Kamu hanya boleh pandangan yang pertama, pandangan seterusnya tidak dibenarkan." (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi).
i.         Pakaian
"Barangsiapa memakai pakaian yang berlebih-lebihan, maka Allah akan memberikan pakaian kehinaan di hari akhirat nanti." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, An Nasaii dan Ibn Majah)
"Sesungguhnya sebilangan ahli neraka ialah perempuan-perempuan yang berpakaian tapi telanjang yang condong pada maksiat dan menarik orang lain untuk melakukan maksiat. Mereka tidak akan masuk syurga dan tidak akan mencium baunya." (Riwayat Bukhari dan Muslim). 
"Hai nabi-nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, hendaklah mereka memakai baju jilbab (baju labuh dan longgar) yang demikian itu supaya mereka mudah dikenali. Lantaran itu mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al Ahzab : 59).
j.         Rambut
"Wahai anakku Fatimah! Adapun perempuan-perempuan yang akan digantung rambutnya hingga mendidih otaknya dalam neraka adalah mereka itu di dunia tidak mahu menutup rambutnya daripada dilihat oleh lelaki yang bukan mahramnya." (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Adapun juga hukum suara wanita dalam beribadah :
Suara Wanita Ketika Beribadah
Displin Islam dalam hal ini boleh dilihat dari perkara di bawah ini:
1)      Ingin Menegur Imam semasa solat,

Jika kaum wanita ingin menegur imam lelaki yang tersilap bacaan atau terlupa rakaat dan lainnya. Nabi SAW hanya membenar para wanita mengingatkan imam dengan menggunakan tepukan saja.
Haditsnya :
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما لي رأيتكم أكثرتم التصفيق من رابه شيء في
صلاته فليسبح فإنه إذا سبح التفت إليه وإنما التصفيق للنساء 
Artinya: Berkata Rasulullah SAW, mengapa aku melihat kamu banyak bertepuk apabila ragu-ragu (waswas) dalam sesuatu perkara semasa solatnya. Hendaklah kamu (lelaki) bertasbih dan sesungguhnya tepukan itu hanya untuk wanita.” (Riwayat Al-Bukhari, no 652)
Arahan Nabi untuk wanita bertepuk untuk membantu imam itu adalah menjaga suaranya dari pendengaran orang lelaki yang sedang solat (Faidhul qadir, 3/281; Al-hawi al-Kabir, 9/17)
2) Wanita dan azan
Imam al-Jassas ketika mentafsirkan ayat dari surah al-ahzab tadi menyebut bahwa ayat ini memberi hukum bahwa wanita dilarang dari menaungkan azan terutamanya jika kemerduan suaranya dijangka mampu mengoda hati sang lelaki ( Ahkam al-Quran, 5/229 dengan pindaan ringkas)
Demikian juga pandangan mazhab Syafi’i dan hanbali, dan tidak diketahui ada yang menyanggah pendapat ini , (kata Imam Ibn Quddamah, Al-Mughni,
2/68)
3) Wanita menjadi imam solat kepada wanita lain atau ketika solat
Sudah tentu wanita harus untuk menjadi imam kepada wanita lain, tetapi mereka tidak dibenarkan mengeraskan bacaan quran mereka jika di tempat itu terdapatnya para lelaki yang bukan mahramnya. (Al-Mughni, Ibn Quddamah)
Imam Ibn Hajar berkata: “jika dikatakan bahwa sekiranya wanita menguatkan bacaannya ketika solat maka solatnya batal, adalah satu pendapat yang
ada asasnya” (Fath Al-Bari, 9/509)
Jelas bahwa suara wanita yang dilagukan atau dalam keadaan biasa apabila melibatkan soal ibadah hukumnya dilihat semakin ketat karena dibimbangi
menggangu ibadah wanita itu terbawa kepada kerusakan kaum lelaki yang lemah ini. Kerana itu disebutkan
فرع: صرّح في النوازل بأنّ نغمة المرأة عورة..ولهذا قال عليه الصلاة والسلام: (التسبيح للرجال والتصفيق للنساء، فلا يحسن أن يسمعها الرجل)
Artinya: Ditegaskan bahwa suara wanita yang dilagukan adalah aurat, kerana itu Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya tasbih untuk lelaki, dan tepukan
khas untuk wanita, maka tiada harus didengari ‘tasbih’ wanita oleh si lelaki”. ( Syarh Fath  Al-Qadir, 1/206 )

4) Suara wanita dan talbiah Haji
Ijma’  ulama bahawa wanita tidak mengangkat suaranya kecuali hanya didengari oleh dirinya saja, demikian pendapat Ato’, Imam Malik, Syafi’i, Hanafi. ( AL-Um, 2/156 ; Al-MUghni , Ibn Quddamah, 5/16 )

Berbagai persoalan berlaku kepada masyarakat Islam yang menuntut kaum wanita berperanan aktif dalam bidang dakwah terutama kepada kaum mereka sendiri.  Keperluan kepada pendakwah wanita menjadi semakin relevan atas kapasiti pendakwah wanitalah lebih memahami tabiat, kedudukan dan permasalahan yang dihadapi oleh golongan wanita sendiri. Mereka akan lebih berupaya menembusi hati para mad’u (sasaran dakwah) melalui pendekatan yang bersesuaian dengan fitrah kaum wanita itu sendiri.
 Keistimewaan wanita berdakwah juga terserah atas kapasiti mempunyai sifat-sifat keperibadian, kejiwaan dan perasaan yang lebih mampu dipahami oleh wanita sendiri. Selain itu, sesetengah bidang yang didominasi oleh kaum wanita juga menuntut kepada kehadiran pendakwah wanita.
Pendakwah wanita bukan saja menjadi role model, malah sumbangan mereka dalam  kemajuan ummah dapat membantu mencorakkan pembangunan masyarakat Islam. Pengaruh dan peranan pendakwah wanita sejak dahulu tidak dinafikan telah mempengaruhi perjalanan sejarah yang akhirnya mencorakkan keadaan sesebuah negara. Melalui dakwah, kaum wanita menjalankan aktifitasnya dalam kehidupan masyarakat Islam serta bertindak sebagai satu komponen penting dalam sistem dan mengokohkan tiang-tiang agama Islam.
Wanita berdakwah telah ada sejak awal masyarakat Islam . Contohnya adalah mengenai peranan wanita di dalam dakwah ialah Ummu ‘Atiyyah al-Ansariyyah yang telah menjadikan rumahnya tempat tumpuan kaum lelaki dalam menimba ilmu. Dalam wilayah berdakwahnya, beliau begitu terkenal kerana keaktifannya di dalam berdakwah  menyampaikan ajaran Islam di kalangan berbagai qabilah pada zaman Nabi s.a.w. Semangat dakwah beliau tidak pernah luntur walaupun pernah disiksa dan dipenjarakan.
Berdakwah adalah tanggungjawab  lelaki dan wanita. Firman  Allah s.w.t dalam  surah at-Taubah ayat 71 yang bermaksud: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang maaruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan solat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Lalu bagaimana dengan wanita yang berdakwah melalui lagu? Setiap hasil untung dari jualan kaset nasyid wanita dewasa ini juga tidak lain kecuali hasil yang haram menurut sepakat ulama mazhab.
 Kecuali jika ia khas untuk wanita dan dijual secara tertutup di majlis wanita saja. Persembahan juga untuk kaum wanita. Dibawah ini ada hadits yang menerangkan tentang dua orang jariah (hamba wanita) yang sedang bernyanyi:
عن عَائِشَةَ رضي الله عنها قالت دخل أبو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ
من جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ
يوم بُعَاثَ قالت وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فقال أبو بَكْرٍ
أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ في بَيْتِ رسول اللَّهِ
وَذَلِكَ في يَوْمِ عِيدٍ فقال رسول اللَّهِ  يا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
Artinya: Dari ‘Aisyah r.a berkata : Abu Bakar ( bapa Aisyah r.a ) masuk ke rumah dan bersamaku dua orang jariah (hamba wanita) dari kalangan bangsa Ansar sedang menyanyi dengan kisah-kisah Ansar ketika hari Bu’ath, lalu asiyah berkata: Mereka berdua bukanlah penyanyi, Berkata Abu Bakar  r.a: ” Adakah seruling Syaitan di rumah Rasulullah SAW? Maka Rasul berkata: WAhai Abu Bakar, ini adalah hari raya). [HR Bukahri, 1/335]
Dalam riwayat lain:
عن عَائِشَةَ قالت دخل عَلَيَّ رسول اللَّهِ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ
تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثَ فَاضْطَجَعَ على الْفِرَاشِ وَحَوَّلَ
وَجْهَهُ وَدَخَلَ أبو بَكْرٍ فَانْتَهَرَنِي وقال مِزْمَارَةُ
الشَّيْطَانِ عِنْدَ النبي فَأَقْبَلَ عليه رسول اللَّهِ عليه السَّلَام
فقال دَعْهُمَا
Artinya: “Daripada ‘Aisyah, Rasulullah SAW masuk ke rumah dan bersamaku dua orang jariah (hamba wanita) dari kalangan bangsa Ansar sedang menyanyi dengan kisah-kisah Ansar ketika hari Bu’ath, maka baginda terus baring dan memalingkan wajanya, maka masuk pula Abu Bakar r.a lalu menegurku sambil berkata, adakah seruling syaitan di sisi nabi SAW, maka nabi terus mendapatkannya lalu berkata : Biarkannya”.
Secara ringkas, hujjah untuk mengatakan terdapat persanggahan atau harusnya nasyid wanita dengan dalil ini adalah tersasar dari kebenaran kerana:
1) Ia dipersembahkan oleh hamba wanita. Maka hukum hamba adalah berbeda dengan hukum wanita merdeka dalam banyak hukum fiqh.
2) Dua orang jariah itu digambarkan dalam banyak riwayat lain sebagai bukan penyanyi khas, yang pandai menyanyi dengan teknik menyanyi yang dikenali dengan melembutkan suara, memerdu dan melunakkannya sebagaimana penyanyi profesional. Ini disebutkan melalui nas
“وليستا بمغنيتين”
Imam An-Nawawi dan Imam Ibn Hajar al-Asqolani mentafsirkannya sebagai:
معناه ليس الغناء عادة لهما ولا هما معروفتان به
Artinya: Maknanya, ia bukanlah nyanyian yang biasa digunakan pada masa itu, dan keduanya juga tidak dikenali pandai menyanyi (Nawawi, Syarh muslim, 6/182 : fath Al-Bari, 2/442)
3) Rasulullah juga digambar tidak turut serta menikmatinya tetapi hanya membiarkannya dinikmati oleh ‘Aisyah.
Ia juga adalah di dalam rumah Nabi Saw dan bukan di khlayak ramai. Imam An-Nawawi mengulas bahawa Nabi juga disebut berpaling wajah :
وإنما سكت النبي عنهن لأنه مباح لهن وتسجى بثوبه وحول وجهه اعراضا عن اللهو ولئلا يستحيين فيقطعن ما هو مباح لهن
Artinya: Nabi senyap dari tindakan itu kerana ia harus bagi wanita, dan nabi menutup dengan pakaiannya dan berpaling wajah darinya sebagai menjauhi perkara melalaikan” (Syarah Sohih Muslim, An-Nawawi, 6/183)
4) Takrif ‘Jariah’ selain bermaksud hamba, ia juga digunakan untuk kanak-kanak wanita belum baligh. Sebagaimana disebut oleh Imam al-Aini & Imam As-Suyuti :-
قوله جاريتان تثنية جارية والجارية في النساء كالغلام في الرجال ويقال على من دون البلوغ
Artinya: Dua orang jariah: disebutkan bagi mereka yang dibawah umur baligh (Umdatul Qari, 6/269)
قوله جاريتان الجارية في النساء كالغلام في الرجال يقعان على من دون البلوغ
Artinya: Jariah untuk wanita, ghulam panggilan untuk lelaki yang keduanya digunakan untuk mereka yang di bawah umur baligh. (Sindi, 3/194: Syarhu As-Suyuti li sunan An-Nasaie, 3/197 )

Hal ini juga disebut di dalam Awnul Ma’bud :
لأنهما جاريتان غير مكلفتين تغنيان بغناء الأعراب
Artinya : kerana mereka berdua belum mukallaf ( belum baligh) lalu mereka menyanyikan lagu-lagu a’rab ( Awnul Ma’bud, 13/181)
Kesimpulan dari pembahasan diatas adalah hukum pendakwah wanita adalah boleh asalkan dengan batasan-batasan yang harus ditaati demi kebaikan umat. Pendakwah wanita harus menutup auratnya agar tidak menimbulkan fitnah bagi kaum laki-laki, dan pendakwah wanita juga harus bisa menempatkan diri pada tempat yang seharusnya. Serta dalam pembahasan diatas, kami juga dapat menyimpulkan bahwa suara wanita bukanlah aurat.

2 komentar:

  1. bernyanyi atau menyampaikan suatu kisah (hadits) berbeda dengan da'wah.

    Apakah anda tidak memperhatikan ayat-ayat Al Qu'an, yang menjelaskan bahwa semua nabi-nabi utusan Allah adalah laki-laki?!

    Bukankah ibunda 'Isa Alaihissalam, Siti Maryam...hanya berdiam diri membiarkan anaknya berdakwah (dalam buaiannya) kepada orang-orang farisi yang mencela dia.

    Tidakkah anda mengambil pelajaran dari kisah-kisah tsb?!

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya sebelumnya terimakasih anda sudah menyempatkan waktu mengunjungi blog saya :) maaf sebelumnya kalau mungkin keterbatasan pengetahuan..
      pertama.. memang berbeda antara benyanyi atau menyampaikan suatu kisah (hadits) dengan berdakwah.. tetapi saya disini menyampaikan persamaan antara keduanya melalui hubungan suara wanita.. karena berdakwah kan bersuara..
      kemudian mengenai utusan Allah.. nabi semua laki2, iya memang apakah saya menuliskan tentang utusan Allah perempuan? tidak kan? apa mungkin maksud anda bahwa pendakwah itu harus laki2?
      berdakwah bisa dilakukan oleh siapa saja.. bahkan kita sendiripun bisa berdakwah mengajak sesama untuk beribadah dengan ucapan maupun perbuatan..
      maksud anda mengenai pelajaran dari kisah2.. kisah apa? terus hubungannya dengan pendakwah wanita itu apa? atau mungkin saya yang salah menangkap pertanyaan anda.. mohon dijelaskan lagi..
      kalau memang kesalahan dalam makalah kami.. mungkin anda bisa memberitahu saya dimana letak kesalahan tersebut, Insya Allah akan saya perbaiki, karena makalah ini sudah 2 tahun yang lalu saat saya masih duduk dibangku sekolah menengah atas..
      mungkin saya bisa bertanya lagi pada guru MAN saya :)

      Hapus