Powered By Blogger

Senin, 17 Juni 2013

Makalah Tentang Hukum Pendakwah Wanita


Hukum Pendakwah Wanita
Sebelum kita membahas hukum pendakwah wanita, kami akan membahas pengertian dari dakwah itu sendiri.
Menurut al-Bustaniy, perkataan dakwah adalah perkataan Arab “da’a” yang pada asalnya bererti seruan, panggilan, jemputan atau undangan. Manakala dari segi istilah pula, para ulama’ telah mengemukakan beberapa definisi.
Menurut Ghalwasy, perkataan dakwah mempunyai dua pengertian, yaitu agama Islam dan kegiatan menyebarkan agama Islam. Sheikh Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan pula menyatakan bahawa dakwah ialah panggilan atau seruan ke jalan Allah Ta’ala, yaitu agama Islam, agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Manakala menurut Al-Ansari, dakwah ialah usaha membentuk perbuatan atau percakapan untuk menarik manusia kepada kebaikan dan mendapat petunjuk Allah Ta’ala dalam kehidupan mereka.
Oleh yang demikian dapat disimpulkan bahwa, dakwah ialah seruan untuk melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan ke arah mendapat petunjuk Allah Ta’ala dalam kehidupan seharian.
Menurut Al-Ghazali,dakwah adalah satu program yang lengkap, merangkum semua ilmu pengetahuan yang diperlukan oleh manusia untuk menjelaskan tujuan dan matlamat hidup.
Dakwah adalah tugas utama para rasul dan mereka ini diutuskan oleh Allah Ta’ala untuk menyampaikan risalah dakwah kepada seluruh alam.
Sebagaimana Firman Allah Ta’ala Maksudnya:
“Hai nabi, sesungguhnya kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa khabar gembira dan pemberi peringatan dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izinNya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi”.
al-Ahzab (33):45-46
Selepas Rasulullah s.a.w wafat, umat Islam telah diperintahkan oleh Allah Ta’ala supaya meneruskan tugas baginda yang murni itu agar ajaran Islam dapat berkembang keseluruh alam dengan lebih sempurna.
Maka dapat disimpulkan bahwa, pendakwah ialah orang yang menyeru manusia ke jalan Allah Ta’ala dengan menyuruh manusia melakukan perkara-perkara yang ma’ruf dan menjauhi perkara-perkara yang mungkar.
Lalu bagaimana hukum pendakwah wanita, apakah diperbolehkan atau tidak? Kami berpendapat bahwa pendakwah wanita diperbolehkan dengan alasan bahwa suara wanita menurut Imam Syafi’i bukan merupakan suatu aurat yang perlu ditutupi.
Pendapat yang ashoh dalam madzhab syafi'i menyatakan bahwa suara wanita bukanlah aurot, karena istri-istri Nabi sendiri biasa meriwayatkan hadits kepada para lelaki, selain itu, dizaman nabi ketika ada seorang wanita meminta penjelasan tentang persoalan agama, para wanita menyampaikannya langsung pada Nabi, seperti dikisahkan dalam satu  hadits, sebagai berikut :
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ، لَا يُعْطِينِي مِنَ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ، فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ

"Dari ‘Aisyah berkata : Hindun bintu ‘Utbah yakni istri Abu Sufyan datang menemui Rasulullah saw lalu dia berkata : wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan itu adalah laki-laki yang pelit (bakhil), dia tidak memberi nafkah kepada saya yang mencukupi kebutuhan saya maupun anak saya kecuali jika aya mengambil dari harta dia tanpa sepengetahuannya. Apakah perbuatan saya itu dosa? Maka Rasulullah saw menjawab : ambillah olehmu dari harta dia secukupnya hingga akan dapat memenuhi kebutuhan dirimu dan anakmu." (Shohih Muslim, no.1714)
Dengan adanya  hadits diatas, jumhur ulama sepakat bahwa suara wanita itu bukan aurat. Sehingga laki-laki asing yang bukan mahramnya boleh mendengar suara seorang wanita dewasa. Sehingga mendengar wanita berbicara atau bersuara, tidaklah termasuk hal yang terlarang dalam Islam.
Di antara dalil bahwa suara wanita bukan aurat adalah bahwa para istri Nabi berbicara langsung dengan para shahabat, tanpa menggunakan perantara mahram atau juga tidak dengan tulisan.Ketika ibunda mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan hadist dari Rasulullah SAW, beliau tidak menuliskannya di dalam sebuah makalah atau buku, melainkan beliau berbicara langsung kepada para shahabat Rasulullah SAW. Padahal beliau termasuk perawi hadits yang sangat produktif, sehingga bisa kita bayangkan bahwa sosok beliau adalah seorang guru atau dosen agama wanita yang banyak berceramah atau memberi kuliah di depan para shahabat lainnya. Bahkan hampir semua hadits tentang fiqih wanita, didapat oleh para shahabat dari kuliah-kuliah yang disampaikan oleh Aisyah ra.
Semua ini menunjukkan bahwa tidak ada larangan dalam syariah untuk mendengar suara wanita. Sebab kalau suara wanita dikatakan sebagai aurat, seharusnya kita tidak akan pernah menemukan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah dan ummahatul mukminin lainnnya. Namun kenyataannya, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh istri-istri nabi SAW sangat banyak menghiasi kitab-kitab hadits.
Demikian juga klta ketahui bahwa Rasulullah SAW berbicara langsung juga dengan para wanita shahabiyah, juga tidak menggunakan perantaraan atau pun tulisan. Bahkan ketika Rasulullah SAW berbai’at, beliau berbicara dengan para wanita secara langsung. Tidak lewat surat atau tulisan sebagaimana yang sering kita lihat di zaman sekarang ini. Tentunya kita ingat bahwa Rasulullah SAW punya satu hari khusus untuk mengajarkan para wanita ilmu-ilmu agama. Dan pengajaran ini diberikan langsung oleh Rasulullah SAW tanpa perantaraan para istrinya. Beliau berbicara dan berdialog secara langsung dengan para wanita.
Lebih jauh lagi, kita pun mendapatkan riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW dan beberapa shahahat diriwayatkan pernah mendengar nyanyian yang dinyanyikan para wanita anshar. Dan beliau tidak melarang mereka dari bernyanyi. Lepas dari perbedaan para ulama dalam menetapkan hukum nyanyian.
Maka dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarang wanita bersuara di depan orang laki-laki, karena suara mereka bukan termasuk aurat. Dan hal ini sudah sampai kepada suara mayoritas dari nyaris hampir semua ulama. Boleh dikatakan bahwa jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa suara seorang wanita pada dasarnya bukan aurat.
Batasan-batasan wanita saat berdakwah, seorang wanita yang identik dengan batasan-batasan dalam melakukan sesuatu hal harus berdasarkan hukum-hukum Islam yang berlaku, batasa-batasan tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Bagi seorang wanita hendaknya tidak merendahkan/melembutkan suaranya didepan laki-laki lain (laki-lakiyang bukan mahromnya) agar tidak menimbulkan fitnah. Alloh berfirman :

 فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ

"Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya." (Q.S. Al-Ahzab : 32)
 Yang dimaksud dengan tunduk di sini ialah berbicara dengan sikap yang menimbulkan keberanian orang bertindak yang tidak baik terhadap mereka. Sedangkan  yang dimaksud dengan dalam hati mereka ada penyakit Ialah: orang yang mempunyai niat berbuat serong dengan wanita, seperti melakukan zina. Karena itulah, meskipun suara wanita bukanlah aurot, tapi para ulama' menetapkan bahwa apabila orang yang mendengarnya takut menimbulkan fitnah atau merasa ladzdzah (enak), maka diharomkan baginya mendengar suara seorang wanita.
2.      Bila dalam bersuara itu para wanita melakukan rayuan, atau mendesah-desahkan suaranya, apalagi bergoyang pinggul yang akan melahirkan birahi  para lelaki, sampailah kepada keharamannya. Sebab itu sudah merupakan bagian dari fitnah wanita. Jadi yang mengharamkan suara wanita, karena di balik itu ada fitnah dan madharat yang hendak dijauhi.
3.      Apabila dalam berdakwah berkewajiban menutupi auratnya sebagai seorang wanita muslimah. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a.       Bulu Kening
Menurut riwayat Bukhari, Rasullulah SAW melaknat perempuan yang mencukur atau menipiskan bulu kening atau meminta supaya dicukurkan bulu kening.
b.      Kaki (tumit kaki)
"Dan janganlah mereka (perempuan) membentakkan kaki (atau mengangkatnya) agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan." (An-Nur: 31)
c.       Wangian
"Siapa sahaja wanita yang memakai wangi-wangian kemudian melewati suatu kaum supaya mereka itu mencium baunya, maka wanita itu telah dianggap melakukan zina dan tiap-tiap mata ada zina." (Riwayat Nasaii, Ibn Khuzaimah dan Hibban).
d.       Dada
"Hendaklah mereka (perempuan) melabuhkan kain tudung hingga menutupi dada-dada mereka." (An-Nur : 31)
e.        Gigi
Rasullulah SAW melaknat perempuan yang mengikir gigi atau meminta supaya dikikirkan giginya. (Riwayat At-Thabrani)
"Dilaknat perempuan yang menjarangkan giginya supaya menjadi cantik, yang mengubah ciptaan Allah." (Riwayat Bukhari dan Muslim).
f.        Muka dan Tangan
Asma Binti Abu Bakar telah menemui Rasullulah SAW dengan memakai pakaian yang tipis. Sabda Rasullulah SAW:
"Wahai Asma! Sesungguhnya seorang gadis yang telah berhaid tidak boleh baginya menzahirkan anggota badan kecuali pergelangan tangan dan wajah saja." (Riwayat Muslim dan Bukhari).
g.       Tangan
"Sesungguhnya kepala yang ditusuk dengan besi itu lebih baik daripada menyentuh kaum yang bukan sejenis yang tidak halal baginya"(Riwayat At Tabrani dan Baihaqi).
h.       Mata
"Dan katakanlah kepada perempuan mukmin hendaklah mereka menundukkan sebahagian dari pandangannya." (An Nur : 31).
Sabda Nabi SAW, "Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya. Kamu hanya boleh pandangan yang pertama, pandangan seterusnya tidak dibenarkan." (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi).
i.         Pakaian
"Barangsiapa memakai pakaian yang berlebih-lebihan, maka Allah akan memberikan pakaian kehinaan di hari akhirat nanti." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, An Nasaii dan Ibn Majah)
"Sesungguhnya sebilangan ahli neraka ialah perempuan-perempuan yang berpakaian tapi telanjang yang condong pada maksiat dan menarik orang lain untuk melakukan maksiat. Mereka tidak akan masuk syurga dan tidak akan mencium baunya." (Riwayat Bukhari dan Muslim). 
"Hai nabi-nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, hendaklah mereka memakai baju jilbab (baju labuh dan longgar) yang demikian itu supaya mereka mudah dikenali. Lantaran itu mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al Ahzab : 59).
j.         Rambut
"Wahai anakku Fatimah! Adapun perempuan-perempuan yang akan digantung rambutnya hingga mendidih otaknya dalam neraka adalah mereka itu di dunia tidak mahu menutup rambutnya daripada dilihat oleh lelaki yang bukan mahramnya." (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Adapun juga hukum suara wanita dalam beribadah :
Suara Wanita Ketika Beribadah
Displin Islam dalam hal ini boleh dilihat dari perkara di bawah ini:
1)      Ingin Menegur Imam semasa solat,

Jika kaum wanita ingin menegur imam lelaki yang tersilap bacaan atau terlupa rakaat dan lainnya. Nabi SAW hanya membenar para wanita mengingatkan imam dengan menggunakan tepukan saja.
Haditsnya :
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما لي رأيتكم أكثرتم التصفيق من رابه شيء في
صلاته فليسبح فإنه إذا سبح التفت إليه وإنما التصفيق للنساء 
Artinya: Berkata Rasulullah SAW, mengapa aku melihat kamu banyak bertepuk apabila ragu-ragu (waswas) dalam sesuatu perkara semasa solatnya. Hendaklah kamu (lelaki) bertasbih dan sesungguhnya tepukan itu hanya untuk wanita.” (Riwayat Al-Bukhari, no 652)
Arahan Nabi untuk wanita bertepuk untuk membantu imam itu adalah menjaga suaranya dari pendengaran orang lelaki yang sedang solat (Faidhul qadir, 3/281; Al-hawi al-Kabir, 9/17)
2) Wanita dan azan
Imam al-Jassas ketika mentafsirkan ayat dari surah al-ahzab tadi menyebut bahwa ayat ini memberi hukum bahwa wanita dilarang dari menaungkan azan terutamanya jika kemerduan suaranya dijangka mampu mengoda hati sang lelaki ( Ahkam al-Quran, 5/229 dengan pindaan ringkas)
Demikian juga pandangan mazhab Syafi’i dan hanbali, dan tidak diketahui ada yang menyanggah pendapat ini , (kata Imam Ibn Quddamah, Al-Mughni,
2/68)
3) Wanita menjadi imam solat kepada wanita lain atau ketika solat
Sudah tentu wanita harus untuk menjadi imam kepada wanita lain, tetapi mereka tidak dibenarkan mengeraskan bacaan quran mereka jika di tempat itu terdapatnya para lelaki yang bukan mahramnya. (Al-Mughni, Ibn Quddamah)
Imam Ibn Hajar berkata: “jika dikatakan bahwa sekiranya wanita menguatkan bacaannya ketika solat maka solatnya batal, adalah satu pendapat yang
ada asasnya” (Fath Al-Bari, 9/509)
Jelas bahwa suara wanita yang dilagukan atau dalam keadaan biasa apabila melibatkan soal ibadah hukumnya dilihat semakin ketat karena dibimbangi
menggangu ibadah wanita itu terbawa kepada kerusakan kaum lelaki yang lemah ini. Kerana itu disebutkan
فرع: صرّح في النوازل بأنّ نغمة المرأة عورة..ولهذا قال عليه الصلاة والسلام: (التسبيح للرجال والتصفيق للنساء، فلا يحسن أن يسمعها الرجل)
Artinya: Ditegaskan bahwa suara wanita yang dilagukan adalah aurat, kerana itu Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya tasbih untuk lelaki, dan tepukan
khas untuk wanita, maka tiada harus didengari ‘tasbih’ wanita oleh si lelaki”. ( Syarh Fath  Al-Qadir, 1/206 )

4) Suara wanita dan talbiah Haji
Ijma’  ulama bahawa wanita tidak mengangkat suaranya kecuali hanya didengari oleh dirinya saja, demikian pendapat Ato’, Imam Malik, Syafi’i, Hanafi. ( AL-Um, 2/156 ; Al-MUghni , Ibn Quddamah, 5/16 )

Berbagai persoalan berlaku kepada masyarakat Islam yang menuntut kaum wanita berperanan aktif dalam bidang dakwah terutama kepada kaum mereka sendiri.  Keperluan kepada pendakwah wanita menjadi semakin relevan atas kapasiti pendakwah wanitalah lebih memahami tabiat, kedudukan dan permasalahan yang dihadapi oleh golongan wanita sendiri. Mereka akan lebih berupaya menembusi hati para mad’u (sasaran dakwah) melalui pendekatan yang bersesuaian dengan fitrah kaum wanita itu sendiri.
 Keistimewaan wanita berdakwah juga terserah atas kapasiti mempunyai sifat-sifat keperibadian, kejiwaan dan perasaan yang lebih mampu dipahami oleh wanita sendiri. Selain itu, sesetengah bidang yang didominasi oleh kaum wanita juga menuntut kepada kehadiran pendakwah wanita.
Pendakwah wanita bukan saja menjadi role model, malah sumbangan mereka dalam  kemajuan ummah dapat membantu mencorakkan pembangunan masyarakat Islam. Pengaruh dan peranan pendakwah wanita sejak dahulu tidak dinafikan telah mempengaruhi perjalanan sejarah yang akhirnya mencorakkan keadaan sesebuah negara. Melalui dakwah, kaum wanita menjalankan aktifitasnya dalam kehidupan masyarakat Islam serta bertindak sebagai satu komponen penting dalam sistem dan mengokohkan tiang-tiang agama Islam.
Wanita berdakwah telah ada sejak awal masyarakat Islam . Contohnya adalah mengenai peranan wanita di dalam dakwah ialah Ummu ‘Atiyyah al-Ansariyyah yang telah menjadikan rumahnya tempat tumpuan kaum lelaki dalam menimba ilmu. Dalam wilayah berdakwahnya, beliau begitu terkenal kerana keaktifannya di dalam berdakwah  menyampaikan ajaran Islam di kalangan berbagai qabilah pada zaman Nabi s.a.w. Semangat dakwah beliau tidak pernah luntur walaupun pernah disiksa dan dipenjarakan.
Berdakwah adalah tanggungjawab  lelaki dan wanita. Firman  Allah s.w.t dalam  surah at-Taubah ayat 71 yang bermaksud: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang maaruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan solat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Lalu bagaimana dengan wanita yang berdakwah melalui lagu? Setiap hasil untung dari jualan kaset nasyid wanita dewasa ini juga tidak lain kecuali hasil yang haram menurut sepakat ulama mazhab.
 Kecuali jika ia khas untuk wanita dan dijual secara tertutup di majlis wanita saja. Persembahan juga untuk kaum wanita. Dibawah ini ada hadits yang menerangkan tentang dua orang jariah (hamba wanita) yang sedang bernyanyi:
عن عَائِشَةَ رضي الله عنها قالت دخل أبو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ
من جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ
يوم بُعَاثَ قالت وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فقال أبو بَكْرٍ
أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ في بَيْتِ رسول اللَّهِ
وَذَلِكَ في يَوْمِ عِيدٍ فقال رسول اللَّهِ  يا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
Artinya: Dari ‘Aisyah r.a berkata : Abu Bakar ( bapa Aisyah r.a ) masuk ke rumah dan bersamaku dua orang jariah (hamba wanita) dari kalangan bangsa Ansar sedang menyanyi dengan kisah-kisah Ansar ketika hari Bu’ath, lalu asiyah berkata: Mereka berdua bukanlah penyanyi, Berkata Abu Bakar  r.a: ” Adakah seruling Syaitan di rumah Rasulullah SAW? Maka Rasul berkata: WAhai Abu Bakar, ini adalah hari raya). [HR Bukahri, 1/335]
Dalam riwayat lain:
عن عَائِشَةَ قالت دخل عَلَيَّ رسول اللَّهِ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ
تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثَ فَاضْطَجَعَ على الْفِرَاشِ وَحَوَّلَ
وَجْهَهُ وَدَخَلَ أبو بَكْرٍ فَانْتَهَرَنِي وقال مِزْمَارَةُ
الشَّيْطَانِ عِنْدَ النبي فَأَقْبَلَ عليه رسول اللَّهِ عليه السَّلَام
فقال دَعْهُمَا
Artinya: “Daripada ‘Aisyah, Rasulullah SAW masuk ke rumah dan bersamaku dua orang jariah (hamba wanita) dari kalangan bangsa Ansar sedang menyanyi dengan kisah-kisah Ansar ketika hari Bu’ath, maka baginda terus baring dan memalingkan wajanya, maka masuk pula Abu Bakar r.a lalu menegurku sambil berkata, adakah seruling syaitan di sisi nabi SAW, maka nabi terus mendapatkannya lalu berkata : Biarkannya”.
Secara ringkas, hujjah untuk mengatakan terdapat persanggahan atau harusnya nasyid wanita dengan dalil ini adalah tersasar dari kebenaran kerana:
1) Ia dipersembahkan oleh hamba wanita. Maka hukum hamba adalah berbeda dengan hukum wanita merdeka dalam banyak hukum fiqh.
2) Dua orang jariah itu digambarkan dalam banyak riwayat lain sebagai bukan penyanyi khas, yang pandai menyanyi dengan teknik menyanyi yang dikenali dengan melembutkan suara, memerdu dan melunakkannya sebagaimana penyanyi profesional. Ini disebutkan melalui nas
“وليستا بمغنيتين”
Imam An-Nawawi dan Imam Ibn Hajar al-Asqolani mentafsirkannya sebagai:
معناه ليس الغناء عادة لهما ولا هما معروفتان به
Artinya: Maknanya, ia bukanlah nyanyian yang biasa digunakan pada masa itu, dan keduanya juga tidak dikenali pandai menyanyi (Nawawi, Syarh muslim, 6/182 : fath Al-Bari, 2/442)
3) Rasulullah juga digambar tidak turut serta menikmatinya tetapi hanya membiarkannya dinikmati oleh ‘Aisyah.
Ia juga adalah di dalam rumah Nabi Saw dan bukan di khlayak ramai. Imam An-Nawawi mengulas bahawa Nabi juga disebut berpaling wajah :
وإنما سكت النبي عنهن لأنه مباح لهن وتسجى بثوبه وحول وجهه اعراضا عن اللهو ولئلا يستحيين فيقطعن ما هو مباح لهن
Artinya: Nabi senyap dari tindakan itu kerana ia harus bagi wanita, dan nabi menutup dengan pakaiannya dan berpaling wajah darinya sebagai menjauhi perkara melalaikan” (Syarah Sohih Muslim, An-Nawawi, 6/183)
4) Takrif ‘Jariah’ selain bermaksud hamba, ia juga digunakan untuk kanak-kanak wanita belum baligh. Sebagaimana disebut oleh Imam al-Aini & Imam As-Suyuti :-
قوله جاريتان تثنية جارية والجارية في النساء كالغلام في الرجال ويقال على من دون البلوغ
Artinya: Dua orang jariah: disebutkan bagi mereka yang dibawah umur baligh (Umdatul Qari, 6/269)
قوله جاريتان الجارية في النساء كالغلام في الرجال يقعان على من دون البلوغ
Artinya: Jariah untuk wanita, ghulam panggilan untuk lelaki yang keduanya digunakan untuk mereka yang di bawah umur baligh. (Sindi, 3/194: Syarhu As-Suyuti li sunan An-Nasaie, 3/197 )

Hal ini juga disebut di dalam Awnul Ma’bud :
لأنهما جاريتان غير مكلفتين تغنيان بغناء الأعراب
Artinya : kerana mereka berdua belum mukallaf ( belum baligh) lalu mereka menyanyikan lagu-lagu a’rab ( Awnul Ma’bud, 13/181)
Kesimpulan dari pembahasan diatas adalah hukum pendakwah wanita adalah boleh asalkan dengan batasan-batasan yang harus ditaati demi kebaikan umat. Pendakwah wanita harus menutup auratnya agar tidak menimbulkan fitnah bagi kaum laki-laki, dan pendakwah wanita juga harus bisa menempatkan diri pada tempat yang seharusnya. Serta dalam pembahasan diatas, kami juga dapat menyimpulkan bahwa suara wanita bukanlah aurat.

Contoh Makalah Tentang Hakim Dalam Syariat Islam


i.            PENDAHULUAN
Hakim adalah seseorang yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur menurut undang-undang, seseorang yang memutus suatu perkara secara adil berdasar atas bukti-bukti dan keyakinan yang ada pada dirinya sendiri. Dalam melakukan kekuasaan kehakiman hakim dihadapkan dengan berbagai hal yang dapat mempengaruhi putusannya nanti. Dengan demikian jabatan hakim ini menjadi sangat penting karena memutus suatu perkara bukanlah hal mudah. Ia harus sangat berhati-hati menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah sebab yang bersalah kadang-kadang dibenarkan. Sedang yang benar terkadang disalahkan.
Seorang hakim menjadi sangat rentan akan berbagai penyimpangan akan berbagai penyimpangan baik yang dilakukan secara sengaja misalnya memutus seseorang yang bersalah kemudian dibenarkan hanya karena memberikan uang kepada hakim tersebut ataupun yang dilakukannya secara tidak sengaja misalnya memutus seseorang yang tidak bersalah karena bukti-bukti yang menunjukan demikian.
Segala sesuatunya akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT. Oleh sebab itu jabatan hakim mendapat perhatian khusus, antara lain dalam hukum positif terlihat dengan adanya undang-undang pokok kehakiman yang secara khusus mengatur tata cara peradilan termasuk jabatan hakim. Tak hanya dalam hukum positif dalam hukum Islam pun jabatan hakim mendapat perhatian khusus dengan ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang jabatan hakim ini bahkan jauh sebelum hukum positif mengaturnya.



ii.            PEMBAHASAN
       I.            Pengertian Hakim
Hakim adalah orang yang diangkat oleh penguassa untuk mengadili perkara diantara manusia menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang bersumber dari hukum Islam. Pengangkatan hakim oleh penguasa, karena penguasa tidak mampu melaksanakan lembaga peradilan sendiri. Kata hakim dikatakan Qadhi sebagai orang yang memutuskan, mengakhiri atau menyelesaikan perkara.
Pada masa Rasulullah SAW yang menjadi hakim dan jaksa penuntut umum adalah Rasulullah sendiri dan hukum yang hendak dijatuhkan wajib menurut hukum yang diturunkan Allah SWT. Dalam firman-Nya dalam surat An-Nissa ayat 105, yang berbunyi :
خَصِيمًا لِلْخَائِنِينَ تَكُنْ وَلَا ۚاللَّهُ أَرَاكَ بِمَا النَّاسِ بَيْنَ لِتَحْكُمَ بِالْحَقِّ الْكِتَابَ إِلَيْكَ أَنْزَلْنَا إِنَّا

Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (Q.S. An-Nisa’ : 105)
Dalam ayat lain Allah berfirman pula: “Dan barang siapa yang tidak menghukum dengan hukuman yang diturunkan Allah, maka mereka itu oang-orang yang kafir.”
Oleh sebab itu, seseorang yang telah diangkat menjadi hakim hendaklah sangat sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman kepada manusia yang bersalah. Jika hal itu terjadi, maka seorang hakim telah melakukan kezaliman yang harus dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT dikemudian hari. Sebab diantara hakim berbeda-beda dalam menjatuhkan hukuman. Ada yang memberikan kebenaran tanpa memperhatikan mana yang salah dan mana yang benar. Dan ada pula yang Sungguh-sungguh mencari kebenaran dalam suatu perkara.
Berdasarkan hal itu hakim terdiri atas tiga bagian, sebagimana yang dinyatakan oleh Nabi sebagai berikut: 




“Nabi SAW bersabda : “ hakim itu ada 3 (tiga): seorang di Surga, dan dua orang di Neraka, yang seorang, ia mengetahui kebenaran dan memutuskan dengan ,kebenaran tersebut (ia layak mendapat surga). Orang mengetahui kebenaran, tapi ia melanggarnya dalam memutuskan hukum. Karena itu ia mendapat neraka. Dan orang dengan kebodohannya , menetapkan hukum untuk manusia (sehingga menjadi salah dalam menetapkannya), maka ia dapat neraka”. (HR. Abu Dawud)
Dengan demikian dapat disimpulkan menurut Nabi hakim terdiri dari:
a.      Hakim yang mengerti akan kebenaran dan menghukum dengan benar (masuk surga)
b.      Hakim yang mengerti akan kekuasaan namun melakukan penindasan (masuk neraka)
c.       Hakim yang menghukum manusia karena ketidaktahuan (masuk neraka)
Oleh karena itu jabatan hakim adalah jabatan yang penuh tanggungjawab yang sangat besar. “Sabda Rasulullah SAW: Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW bersabda beliau: “Barang siapa yang dijadikan hakim di antara manusia maka Sungguh ia telah disembelih dengan tidak memakai pisau.” Oleh sebab itu banyak ulama-ulama yang sadar, tidak mau diangkat menjadi hakim jika sekiranya masih ada orang lain yang patut.
Misalnya Ibnu Umar takut menjadi hakim ketika diminta oleh Utsman bin Affan, imam Abu Hanifah tidak mau menjadi hakim ketika diminta oleh khalifah Al Mansyur, hingga ia dipenjarakan oleh khalifah Al-Makmun. Namun kiranya perlu ditugaskan bahwa menerima jabatan hakim itu fardhu kifayah hukumnya diantara orang-orang yang patut menjadi hakim.

     II.            Syarat Menjadi Hakim
Syarat pengankatan menjadi hakim (Qadhi) ada perbedaan pendapat. Ada yang menyebut 15 syarat, ada yang 7, dan ada yang 3. Akan tetapi walaupun demikian hakikatnya sama. Adapun secara global syarat menjadi hakim ialah sebagai berikut:
a.      Laki-laki
b.      Berakal (cerdas) dan Mumayiz
c.       Islam
d.     Adil
e.      Berpengetahuan
f.        Sehat pendengaran, penglihatan, dan ucapan
g.      Fakih dan Mustahil
h.      Qadhi diangkat oleh penguasa dan hukumnya wajib
Pemerintahan (penguasa) mempunyai hak untuk memecat Qaadhi yang diangkat apabila ada sebab yang menghendakinya, dan tidak dibenarkan tindakan pemecatan tanpa ada sebab.
  III.            Tatacara Peradilan Menjatuhkan Hukuman
Lembaga peradilan menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:
a.      Berdasarkan hasil pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan
b.      Dari kondisi para hakim bahwa mereka telah melakukan pemeriksaan sesuai dengan prosedur yang berlaku
 IV.            Unsur-unsur Peradilan
a.      Hakim
b.      Hukum
c.       Mahkum bihi (suatu hak)
d.     Mahkum lahu (orang yang menang)
e.      Mahkum alaihi (orang yang terhukum)

    V.            Hal Yang Diwajibkan Dan Diharamkan Hakim
a.     Hakim wajib mencari keadilan dalam mengadili manusia
Di tangan hakimlah terletak lepas dan terikatnya manusia yang berperkara, sengsara atau atau selamatnya mereka, oleh karena itu seorang hakim harus bersungguh-sungguh mencari kebenaran agar dapat menghukum dengan seadil-adilnya.
Allah berfirman: “Dan bila kamu menghukum antara manusia, supaya kamu menghukum dengan seadil-adilnya.”
Firman Allah SWT: “Dan ingatlah Daud dan Sulaiman ketika keduanya menghukum perkara tanaman, ketika biri-biri sesuatu kaum telah merusak tanaman itu dan kamilah yang menjadi saksi dalam penghukuman mereka. Lantas kami ajarkanlah hukum itu kepada Sulaiman, dan kepada keduanya kami datangkan Hikmah dan ilmu.”
Salah satu syarat bagi orang yang diangkat menjadi hakim adalah memiliki kemampuan berijtihad dan bersungguh-sungguh mencari hak dengan berpedoman kepada jitab Allah dan Sunnah Nabinya.
Sabda Rosulullah Saw : “Dari Amru bin Ash, dari Nabi Saw bersabda beliau : apabila seorang hakim menghukum, lalu ia berijtihad, maka betul ijtihadnya itu, maka baginya tersedia dua pahala.”
Keterangan lainnya : “Dari haris bin amru, dari sahabat-sahabat Muaz, bahwa Rasulullah saw tatkala , mengutus Muaz ke Negeri Yaman beliau bertanya kepadanya : “Bagaimanakah caranya engkau menghukum (mengadili) ?” Muaz menjawab : “Aku menghukum menurut apa yang ada dalam kitab Allah,” Rasulullah bertanya pula : “Jika tidak ada dalam kitab Allah?” Muaz menjawab, lalu “Dengan Sunnah Rasulullah saw.” Rasulullah bertanya pula : “Jika tidak bertemu dengan Rasulullah ataupun Sunnah Rasulullah?” Ia menjawab : “Aku berijtihad (aku berusaha sedapat-dapatnya) menurut pikiranku.” Rasulullah menjawab : “Alhamdulillah (pujian-pujian bagi Allah) yang telah memberi taufik.”
Dengan demikian nyatalah bahwa hukum yang wajib dilakukan terlebih dahulu adalah menurut yang tertulis dalam Al-qur’an. Jika tidak dapat dalam Al-qur’an dicari dalam hadits, jika tidak ditemukan dalam hadits, dicari Ilat atau persamaannya, inilah yang disebut dengan ijtihad. Jika tidak dapat dalam Al-qur’an tetapi mempunyai ikatan atau persamaan dengan perkara lain atau hukumnya ada dalam Al-qur’an dan hadits, maka hukumnya disamakan inilah yang disebut Qiyas yang melakukan hendaklah yang pandai berijtihad menurut syar’i.

b.     Kesopanan dalam menghukum
Hakim adalah jabatan yang tinggi dan mulai. Oleh sebab itu seorang hakim hendaklah berlaku sopan saat mengadili. Sebab di tangan hakimlah terletak keputusan bebas tidaknya seseorang terdakwah/tersangka, atau penggugat dengan tergugat. Oleh sebab itu dalam mengadili suatu perkara hendaklah dijaga:
Pertama, memeriksa perkara atau memutuskan hukuman ketika dalam keadaan marah, sebab marah timbul dengan hawa nafsu, biasanya membawa kepada kebinasaan dan kezaliman.
Sabda Rasulullah saw : “Dari Abdurahman bin Abu Bakrah r.a berkata ia : bersabda Rasulullah saw : hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman kedua orang yang berperkara ketika ia sedang keadaan marah. Dan jangan sampai menjatuhkan hukuman dalam keadaan :
1)      Sedang marah
2)      Sedang keadaan lapar dan haus
3)      Sedang susah atau sedang gembira
4)      Sedang sakit
5)      Sedang menahan buang air besar
6)      Sedang mengantuk
Sangat panas atau sangat dingin hal ini dikarenakan semua itu dapat mempengaruhi ketenangan pikiran dan dapat pula mengakibatkan ketidak adilan dalam menjatuhkan hukuman.
Kedua, hendaklah menyamakan pertanyaan, tempat duduk dan sebagainya antara dua orang yang berperkara. Dari Abdullah bin Zubair r.a berkata ia : “Rasulullah saw telah menjatuhkan hukuman sedang kedua orang yang berselisih itu duduk di hadapan hakim.”
Ketiga, hendaklah mendengarkan dengan baik keterangan kedua belah pihat secara berganti – ganti.
Sabda Rasulullah saw. Dari Ali r.a berkata ia: bersabda Rasulullah saw : “Apabila semua hukuman bagi orang yang pertama sebelum engkau akan mengetahui cara menghukum mereka. Berkata Ali : senantiasa aku menjadi kadi (menghukum seperti itu) sesudah itu. Digunakan pengadilan itu diadakan ditengah-tengah Negeri atau tengah-tengah daerah pemerintahan. Yaitu di ibu kota, di tempat yang terlihat dan jangan di masjid, sebab masjid adalah tempat beribadat.”

c.      Haram hukumnya seorang hakim dalam menerima uang suap
Seorang hakim haram menerima uang suap ataupun hadiah dari pihak-pihak berperkara, sebab hal itu mempengaruhi perkara yang sedang diadili, yang dapat dimenangkan sedangkan yang benar dapat disalahkan.
“Dari Abu Hurairah r.a berkata ia : telah dikutuki oleh Rasulullah saw akan orang yang memberi suap, atau yang menerimayan dalam perkara hukum. Uang suap dapat membatalkan yang hak dan membenarkan yang batil.”
“Dari Muaz bin Jabal r.a berkata ia : telah di utus aku oleh Rasulullah SAW ke Negeri Yaman, takkala aku telah berangkat diwaktu malam, disuruhnya orang menyusul daku dan disuruhnya aku pulang, maka Rasulullah saw bersabda : janganlah kamu terima sesuatu dengan tidak seizinku, sebab hal yang semacam itu termasuk penipuan dan siapa yang menipu ia akan dihadapkan dengan perbuatannya (penipuan) itu di hari kiamat, karena itulah engkau dipanggil kemari, dan sekarang teruslah engkau berangkat untuk melakukan tugasmu.”
Menurut pengarang Subulussalam, hasil atau keuntungan yang diperoleh hakim ada empat macam, antara lain :
1.      Uang suap yaitu agar hakim memutuskan hukum dengan jalan yang tidak hak. Hukunya haram bagi kedua pijak, baik yang menerima atau yang memberikannya. Namun untuk menghukum dengan jalan yang tidak hak maka hukumnya bagi hakim namun tidak haram atas orang yang memberi.
2.      Hadiah, apabila diberikan oleh orang yang sebelum ia menjadi hakim maka tidak haram hukumnya, namun apabila diberikan setelah ia menjadi hakim maka haram hukumnya.
3.      Upah. Bila hakim menerima upah dari baitul mal atau dari pemerintah maka hukumnya haram. Jika tidak ada gaji, boleh baginya mengambil upah sesuai dengan pekerjaanya.
4.      Rezeki, pensiunan dari jabatannya hakim yang diangkat untuk suatu daerah dalam Negara Islam, dapat pensiunan (berhenti) dari jabatannya karena :
·         Telah sampai kepadanya kabar tentang pemberhentiannya walaupun orang yang dapat di percaya begitu juga wakilnya.
·         Dia sendiri yang ingin meninggalkan jabatan itu.
·         Rusak pikiran, gila, mabuk, pitam dan sebagainya.
·         Fisik (kafir), yang tidak diketahui sejak ia diangkat atau datangnya sesudah diangkat.

 VI.            Hadits-Hadits Nabi Tentang Hakim

1. Hakim terdiri dari tiga golongan. Dua golongan hakim masuk neraka dan segolongan hakim lagi masuk surga. Yang masuk surga ialah yang mengetahui kebenaran hukum dan mengadili dengan hukum tersebut. Bila seorang hakim mengetahui yang haq tapi tidak mengadili dengan hukum tersebut, bahkan bertindak zalim dalam memutuskan perkara, maka dia masuk neraka. Yang segolongan lagi hakim yang bodoh, yang tidak mengetahui yang haq dan memutuskan perkara berdasarkan kebodohannya, maka dia juga masuk neraka. (HR. Abu Dawud dan Ath-Thahawi)
2. Lidah seorang hakim berada di antara dua bara api sehingga dia menuju surga atau neraka. (HR. Abu Na'im dan Ad-Dailami)
3. Barangsiapa diangkat menjadi hakim maka dia telah disembelih tanpa menggunakan pisau. (HR. Abu Dawud)
4. Allah beserta seorang hakim selama dia tidak menzalimi. Bila dia berbuat zalim maka Allah akan menjauhinya dan setanlah yang selalu mendampinginya. (HR. Tirmidzi)
5. Bila seorang hakim mengupayakan hukum (dengan jujur) dan keputusannya benar, maka dia akan memperoleh dua pahala. Tetapi bila keputusannya salah maka dia akan memperoleh satu pahala. (HR. Bukhari)
6. Janganlah hendaknya seorang wanita menjadi hakim yang mengadili urusan masyarakat umum. (HR. Ad-Dailami)
7. Salah satu dosa paling besar ialah kesaksian palsu. (HR. Bukhari)
8. Rasulullah Saw bersabda : "Disejajarkan kesaksian palsu dengan bersyirik kepada Allah." Beliau mengulang-ulang sabdanya itu sampai tiga kali. (Mashabih Assunnah)
9. Nabi Saw mengadili dengan sumpah dan saksi. (HR. Muslim)
10. Maukah aku beritahukan saksi yang paling baik? Yaitu yang datang memberi kesaksian sebelum dimintai kesaksiannya. (HR. Muslim)
11. Pria paling dibenci Allah ialah orang yang bermusuhan dengan sengit. (HR. Bukhari)
12. Janganlah hendaknya seorang hakim mengadili antara dua orang dalam keadaan marah. (HR. Muslim)
13. Tidak halal darah (dihukum mati) seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga sebab. Pertama, duda atau janda yang berzina (juga suami atau isteri). Kedua, hukuman pembalasan karena menghilangkan nyawa orang lain (Qishas), dan ketiga, yang murtad dari Islam dan meninggalkan jama'ah. (HR. Bukhari)
14. Rasulullah Saw pernah memenjarakan seseorang karena suatu tuduhan kemudian dibebaskannya. (HR. An-Nasaa'i)
15. Sesungguhnya aku mengadili dan memutuskan perkara antara kalian dengan bukti-bukti dan sumpah-sumpah. Sebagian kamu lebih pandai mengemukakan alasan dari yang lain. Siapapun yang aku putuskan memperoleh harta sengketa yang ternyata milik orang lain (saudaranya), sesungguhnya aku putuskan baginya potongan api neraka. (HR. Aththusi)
16. Seorang wanita di jaman Rasulullah Saw sesudah fathu Mekah telah mencuri. Lalu Rasulullah memerintahkan agar tangan wanita itu dipotong. Usamah bin Zaid menemui Rasulullah untuk meminta keringanan hukuman bagi wanita tersebut. Mendengar penuturan Usamah, wajah Rasulullah langsung berubah. Beliau lalu bersabda : "Apakah kamu akan minta pertolongan (mensyafa'ati) untuk melanggar hukum-hukum Allah Azza Wajalla?" Usamah lalu menjawab, "Mohonkan ampunan Allah untukku, ya Rasulullah." Pada sore harinya Nabi Saw berkhotbah setelah terlebih dulu memuji dan bersyukur kepada Allah. Inilah sabdanya : "Amma ba'du. Orang-orang sebelum kamu telah binasa disebabkan bila seorang bangsawan mencuri dibiarkan (tanpa hukuman), tetapi jika yang mencuri seorang awam (lemah) maka dia ditindak dengan hukuman. Demi yang jiwaku dalam genggamanNya. Apabila Fatimah binti Muhammad mencuri maka aku pun akan memotong tangannya." Setelah bersabda begitu beliau pun kembali menyuruh memotong tangan wanita yang mencuri itu. (HR. Bukhari)
17. Bila dua orang yang bersengketa menghadap kamu, janganlah kamu berbicara sampai kamu mendengarkan seluruh keterangan dari orang kedua sebagaimana kamu mendengarkan keterangan dari orang pertama. (HR. Ahmad)
18. Kami bersama Rasulullah Saw dalam suatu majelis. Rasulullah bersabda: "Berbai'atlah kamu untuk tidak syirik kepada Allah dengan sesuatu apapun, tidak berzina, tidak mencuri, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan (alasan) yang benar. Barangsiapa menepatinya maka baginya pahala di sisi Allah dan barangsiapa yang melanggar sesuatu dari perkara-perkara itu maka dia dihukum dan itulah tebusannya (kafarat). Namun barangsiapa yang melanggar perkara-perkara itu dan dirahasiakan oleh Allah maka persoalannya adalah di tangan Allah. Bila Dia menghendaki maka akan diampuniNya atau disiksaNya (di akhirat)." (HR. Muslim)
19. Hindarkanlah tindakan hukuman terhadap seorang muslim sedapat mungkin karena sesungguhnya lebih baik bagi penguasa bertindak salah karena membebaskannya daripada salah karena menjatuhkan hukuman. (HR. Tirmidzi dan Al-Baihaqi)
20. Barangsiapa menjauhi kehidupannya sebagai badui maka dia mengisolir dirinya, dan barangsiapa yang mengikuti perburuan maka dia akan lengah dan lalai. Barangsiapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa maka dia akan terkena fitnah. Ketahuilah, seorang yang makin mendekatkan dirinya kepada penguasa akan bertambah jauh dari Allah. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

iii.            Kesimpulan

Hakim adalah seseorang yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur menurut undang-undang, seseorang yang memutuskan suatu perkara secara adil berdasarkan bukti-bukti dan keyakinan yang ada pada dirinya sendiri. Seorang hakim harus memiliki kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum, agar tidak keliru dalam memutuskan suatu perkara.
Berdasarkan hukum Islam seorang hakim dapat mengundurkan diri dari persidangan apabila memiliki kepentingan atau terikat dengan keluarga sedarah atau semanda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai, dengan ketua salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera, hal ini di maksudkan untuk menjaga kemurnian dan independensi peradilan agar seorang hakim memutuskan suatu perkara tidak secara subjektif yang di sebabkan oleh hubungan keluarga dan lain sebagainya sebagaimana tersebut di atas karena dikhawatirkan seorang hakim tidak dapat bertindak adil terhadap pihak-pihak yang menjadi keluarganya itu.
Jadi hukum melarang seorang hakim untuk menangani perkara yang melibatkan orang-orang terdekatnya untuk menjaga kemandirian putusan yang dikeluarkannya. Dalam pasal 28 ayat 1 undang-undang pokok kehakiman, hakim diwajibkan untuk memperhatikan nilai-nilai hukum pada yang ada pada masyarakat dalam memberikan putusan, hal ini dikarenakan setiap masyarakat dalam memberikan putusan, hal ini dikarenakan masyarakat memiliki pandangan yang berbeda terhadap sesuatu yang dianggap salah, menyalahi aturan, atau menyimpang.
Dalam Islam seseorang yang memutuskan perkara di pengadilan di sebut qadhi (hakim). Pada masa Rasulullah saw masih hidup yang menjadi hakim dan yang menjadi jaksa penuntut umum adalah Rasulullah saw sendiri dan hukum yang hendak dijatuhkan wajib menurut hukum yang diturunkan Allah swt. Menurut Nabi hakim terdiri dari :
ü  Hakim yang mengerti akan kebenaran dan menghukum dengan benar (masuk surga)
ü  Hakim yang mengerti akan kekuasaan namun melakukan penindasan (masuk neraka)
ü  Hakim yang menghukum manusia karena ketidaktahuan (masuk neraka)
Satu syarat yang diangkat menjadi hakim adalah memiliki kemampuan berijtihad dan bersungguh-sungguh mencari hak dengan berpedoman kepada kitab Allah dan Sunnah Nabinya. Hukum yang wajib dilakukan terlebih dahulu adalah menurut yang tertulis dalam Al-qur’an. Jika tidak terdapat dalam Al-qur’an barulah dari dalam hadits, jika tidak ditemukan dalam hadits, di cari Ilat dan persamaannya, inilah yang disebut dengan ijtihad. Jika tidak terdapat dalam Al-qur’an tetapi mempunyai ikatan atau persamaan dengan perkara lain yang hukumnya ada dalam Al-Qur'an dan hadits, maka hukumnya disamakan inilah yang disebut dengan qiyas yang melakukan hendaklah yang pandai berijtihad menurut syar’i.