Powered By Blogger

Selasa, 14 Oktober 2014

Contoh Makalah Ulumul Qur'an "Pengumpulan Al-Qur'an"



                 I.            Rumusan masalah

A.    Apa pengertian pengumpulan Al-Qur’an?
B.     Bagaimana sejarah pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah Saw.?
C.     Bagaimana sejarah pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar As shidiq?
D.    Bagaimana sejarah pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman bin Affan?
E.     Apa manfaat dari sejarah pengumpulan Al-Qur’an ?











SEJARAH PENGUMPULAN AL-QUR’AN


            II.            Pendahuluan
Al-Quran  merupakan  kitab  suci  umat  Islam,  dimana  redaksi  maupun  susunannya  tidak pernah berubah dan tetap terpelihara sepanjang zaman. Dari awal hingga akhir turunnya Al-Quran, seluruh  ayat-ayatnya  terjaga  baik  secara  hafalan  maupun  tulisan.  Selanjutnya  sesudah  masa  kenabian pengkodifikasian Al-Quran disempurnakan, sampai pada yang kita ketahui sekarang ini.    
Al-Quran merupakan pedoman umat Islam yang berisi petunjuk dan tuntunan  untuk  mengatur  kehidupan  di  dunia  dan  akhirat.  Al-Quran  merupakan  kitab suci  yang otentik  dan  unik,  yang  mana  susunan  maupun  kandungan  maknanya merupakan kata-kata yang indah dan menyentuh hati bagi setiap manusia yang memahaminya serta tidak ada satu makhluk pun yang dapat membuatnya.
Al-Quran turun kepada Nabi Saw.tidak sekaligus, melainkan secara berangsur-angsur dalam masa yang relatif panjang, yakni dimulai sejak zaman Nabi Saw. diangkat menjadi Rasul dan berakhir pada  masa menjelang wafatnya. Maka dari itu tidak mengherankan bila Al-Quran  pada zaman nabi belum sempat dibukukan seperti adanya  sekarang. Meskipun  demikian,  upaya  pengumpulan  ayat-ayat  Al-Quran  pada  masa  itu tetap berjalan, dari masa kenabian rasulullah Saw. sampai pada masa kekhalifahan .




        III.            Pembahasan

A.  Pengertian Pengumpulan Al-Qur’an
Untuk menyatukan persepsi tentang istilah pengumpulan Al-Quran, setidaknya ada  dua  pengertian  yang  terakomodasi  di  dalamnya. Kedua  pengertian  itu  merujuk kepada kandungan makna jam’u Al-Quran (pengumpulan al-Quran), yaitu :
Pertama : Kata pengumpulan dalam arti penghafalannya di dalam lubuk hati, sehingga orang-orang yang hafal Al-Quran disebut jumma’u al- Quran atau huffadz al-Quran. 
Kedua : Kata pengumpulan dalam arti penulisannya, yakni perhimpunan seluruh Al-Quran  dalam  bentuk  tulisan,  yang  memisahkan  masing-masing  ayat  dan surah,  atau  hanya  mengatur  susunan  ayat-ayat  Al-Quran  saja  dan mengatur susunan semua ayat dan surah di dalam beberapa shahifah yang kemudian  disatukan  sehingga  menjadi  suatu  koleksi  yang  merangkum semua surah yang sebelumnya telah disusun satu demi satu.[1]
Terhadap  kedua  pengertian  pengumpulan  di  atas  dipahami  dari  firman  Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 17 :
ـأﺮﻗﻊﺒﺗﺎﻓهﺎﻧأﺮﻗاذﺈﻓﻪـأﺮﻗوﻪﻌﻤﺟﺎﻨﯿﻠﻋنإ
Artinya  :  “Sesungguhnya  atas  tanggungan  Kamilah  untuk  mengumpulkannya  (di  dadamu)  dan (membuatmu pandai) membacanya”.
Dan juga firman-Nya dalam surat al-Hijr ayat 9 :
ﻈﻓﺎﺤﻟﺎﻬﻟﻪﻟﺎّﻧإوﺮﻛّﺬﻟاﺎﻨﻟّﺰﻧﻦﺤﻧﺎّﻧإن
Artinya  :  “Sesungguhnya  Kamilah  yang  menurunkan  al-Dzikra  (Al-Quran),  dan  sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:

·         Al-Kitab (Buku)
·         Al-Furqan (Pembeda benar salah)
·         Adz-Dzikr (Pemberi peringatan)
·         Al-Mau'idhah (Pelajaran/nasihat)
·         Al-Hukm (Peraturan/hukum)
·         Al-Hikmah (Kebijaksanaan)
·         Asy-Syifa' (Obat/penyembuh)
·         Al-Huda (Petunjuk)
·         At-Tanzil (Yang diturunkan)
·         Ar-Rahmat (Karunia)
·         Ar-Ruh (Ruh)
·         Al-Bayan (Penerang)
·         Al-Kalam (Ucapan/firman)
·         Al-Busyra (Kabar gembira)
·         An-Nur (Cahaya)
·         Al-Basha'ir (Pedoman)
·         Al-Balagh (Penyampaian/kabar)
·         Al-Qaul (Perkataan/ucapan)



B.  Sejarah Pengumpulan Al-Qur’an Pada Zaman Rasulullah Saw
Al-Qur’an sudah mulai dikumpulkan pada masa Rasulullah, bahkan sejak Al-Qur’an diturunkan. Bahkan setiap Nabi menerima wahyu, Nabi Muhammad SAW. selalu membacakannya didepan para sahabat, karena beliau memang diperintahkan Allah SWT untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka.
Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang sangat dirindukan oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga kerinduan Nabi Muhammad SAW terhadap kedatangan wahyu tidak sengaja diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad ditempuh dengan dua cara :
a)      Pertama, al Jam’u fis Sudur.
Rasulullah amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu turunnya wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya. Persis seperti dijanjikan Allah SWT dalam surat Al-Qiyamah ayat 17, sebagai berikut :
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.” (Q.S. Al-Qiyamah:17).
Oleh sebab itu, Nabi Muhammad SAW adalah hafiz (penghafal) Al-Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dala menghafalnya, sebagai ralisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah. Setiap kali Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, para sahabt langsung menghafalnya diluar kepala.
a)      Kedua, al Jam’u fis Suthur.
Selain di hafal, Rasulullah juga mengangkat para penulis wahyu Al-Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka seperti Ali, Mu’awiyah, Ubay bin Ka’b dan Zaid bin Sabit. Bila ayat turun, beliau memerintahkan mereka menuliskan dan menunjukan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan didalam hati.
Proses penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW sangatlah sederhana. Mereka menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang dan berbagai tempat lainnya. Selain para sekretaris Nabi Muhammad SAW tersebut, para sahabat juga melakukannya tanpa sepengetahuan Nabi Muhammad SAW.
Pada tahap yang pertama, kita tahu bahwa sahabat-sahabat Nabi yang hafal Al-Qur’an diluar kepala seperti Abdullah bin mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab dan lain-lain. Diantara faktor yang mendorong mereka menghafal Al-Qur’an adalah kecintaan mereka terhadap Al-Qur’an dan penghargaan Nabi serta sahabat lainnya terhadap mereka yang mempunyai hafalan banyak.
Berbeda halnya dengan pengertian yang kedua, yaitu menuliskan Al-Qur’an, maka dalam periwayatan disebutkan bahwa nabi selalu menyuruh para sahabatnya menulis Al-Qur’an segara setelah Al-Qur’an diturunkan. Mereka yang terlibat dalam penulisan wahyu kurang lebih 40 orang, suatu jumlah yang cukup besar. Agar konsentrasi para sahabat hanya kepada Al-Qur’an, maka nabi melarang para sahabatnya mencatat selain Al-Qur’an. . Beliau ingin agar Al-Qur’an dan hadits tidak ditulis pada halaman kertas yang sama agar tidak terjadi campur aduk serta kekeliruan.  Dalam sebuah hadits disebutkan:

عن أبي سعيد الخضري رضي الله عنه قال رسول الله ص.م : لا تكتبوا عني غير القرأن ومن كتبعني غير القرأن فاليمحه

Artinya: Janganlah kamu menulis dariku selain Al-Qur’an, barangsiapa menulis selain Al-Qur’an, maka hapuskanlah.
Rasulullah SAW menyuruh para penulis wahyu untuk  mencatat setiap wahyu yang diterimanya, sehingga Al-Qur’an yang terhimpun didalam dada mereka masing-masing dialihkan kedalam bentuk tulisan. Terkadang para sahabat menulis ayat-ayat yang turun kepada beliau, meskipun Rasulallah SAW tidak menyuruh mereka untuk menulis. Mereka menuliskannya di media-media tertentu, antara lain:
Ø  Likhaf jama’ dari lukhfah, yaitu lempenan-lempengan batu
Ø  Al-Karnief jama’ dari kanaafah yaitu akar keras dari pohon saf
Ø  Riqa’ jama’ dari Riqah yaitu kulit
Ø  Al-‘Aqtab jama’ dari Qiatb, yaitu pelana kuda
Ø  Aktaf jama’ Katf, yaitu tulang keledai atau kambing yang telah kering
Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menuliskan Al-Qur’an. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia  bagi mereka, selain sarana-sarana tersebut. Para sahabat senantiasa menyodorkan Al-Qur’an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Tulisan-tulisan Al-Qur’an pada masNabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang dimiliki oleh seseorang belum tentu dimiliki oleh seseorang yang lain. Rasulullah berpulang ke Rahmatullah disaat Al-Qur’an telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti yang disebutkan diatas, ayat-ayat dan surah-surah dipisahkan, atau ditertibkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah dan dalam tujuh huruf, tetapi Al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh (lengkap).  Pada saat sebelum nabi wafat, belum diperlukan membukukan Al-Qur’an dalam satu mushaf, sebab nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu kewaktu. Sesudah berakhir masa turunnya al-qur’an  dengan wafatnya Rasulullah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para khulafaturrasyidiin sesuai dengan janji-Nya  yang benar kepada ummat tentang jaminan pemeliharaan Al-qur’an dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar.
Sementara  itu,  upaya  pengumpulan  Al-Quran  dalam  arti  penulisan  juga  sudah ada  masa  itu,  meskipun  belum  dalam  kondisi  yang  seperti  sekarang.  Penulisannya masih  berfariasi  dan  dalam  lembaran-lembaran  yang  terpisah  atau  dalam  bentuk ukiran pada beberapa jenis benda yang dapat mereka jadikan sebagai alas tulis-menulis ketika itu.  Setiap kali Nabi selesai menerima ayat-ayat Al-Quran yang diwahyukan kepadanya,  Nabi  lalu  memerintahkan  kepada  para  shahabat  tertentu  untuk menuliskannya  di  samping  juga  menghafalnya.  Penulisan  ayat-ayat  al-Quran  tidaklah seperti  yang  kita  saksikan  sekarang.  Selain  karena  mereka  belum  mengenal  alat-alat tulis, al-Quran hanya ditulis pada kepingan-kepingan tulang, pelepah korma, atau batu-batu tipis, sesuai dengan peradaban masyarakat waktu itu.
Penertiban  dan  susunan  ayat-ayat  Al-Quran  langsung  diatur  oleh  Nabi  Saw. sendiri berdasar bimbingan Jibril yang menjadi perantara Allah. Dalam hal ini, para ulama sepakat mengatakan bahwa cara penyusunan Al-Quran yang demikian itu adalah tauqify,  artinya  susunan  surah-surah  dan  ayat-ayat-ayat  Al-Quran  seperti  yang  kita saksikan di berbagai mushaf sekarang adalah berdasarkan ketentuan dan petunjuk yang diberikan  Rasulullah  sesuai  perintah  dan  wahyu  dari  Allah   Swt.    Dengan  demikian, tidak ada tempat dan peluang ijtihad dalam penertiban dan penyusunannya.  
Meskipun semua urutan surah dan ayat-ayatnya disusun berdasarkan kehendak dan  petunjuk Rasulullah,  namun  Nabi  tidak  memandang  perlu  untuk  menghimpun ayat-ayat  yang  ada  pada setiap  surah  dalam  berbagai  shahifah  karena jumlahnya tidak terhitung,  di  samping  juga  tidak  perlu  menghimpun  semua  cara pencatatan Al-Quran di dalam satu mushaf.  Dengan  demikian,    penulisan  Al-Quran  pada  masa  Nabi  itu  tidak  terkumpul dalam  satu  mushaf,  yang  ada  pada  seseorang  belum  tentu  dimiliki  oleh  orang  lain. Akan  tetapi  yang  jelas  bahwa  di  saat  Rasulullah  berpulang  ke  rahmatullah,  Al-Quran telah dihafal dan ditulis dalam mushaf dengan susunan seperti yang disebutkan di atas. Ayat-ayat  dan  surah-surah  dipisah-pisahkan,  atau ditertibkan  ayat-ayatnya  saja  dan setiap  surah  berada  dalam  satu  lembaran  secara  terpisah,  dan  penulisannya  supaya dipertimbangkan mencakup  “ tujuh huruf ” yang menjadi landasan turunnya Al-Quran.
Adapun kepada  para  shahabatnya  yang  terpilih  untuk  menulis Al-Qur’an guna memperkuat  hafalan  mereka.  Di  antara  para  penulis  wahyu  Al-Quran  terkemuka adalah  shahabat  pilihan  yang  ditunjuk  Rasul  dari  kalangan  orang  yang  terbaik  dan indah  tulisannya  seperti Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab.  Apabila  ayat  turun,  beliau  memerintahkan  mereka  menuliskannya dan  menunjukkan  tempat  ayat  tersebut  dalam  surah,  sehingga  penulisan  Al-Quran pada  lembaran  itu  membantu  penghafalan  di  dalam  hati,  atau  Al-Quran  yang terhimpun di dalam dada akhirnya menjadi kenyataan tertulis. 
 Selain  dari  yang  disebut  diatas,  masih  banyak  lagi  para  pencatat  wahyu  dari kalangan  shabahat  yang  menuliskan  Al-Quran atas  kemauan sendiri, tanpa diperintah Nabi.    Mereka  pada  saat  itu menuliskannya  pada  lembaran  kulit,  daun-daunan,  kulit kurma, permukaan batu, pelepah kurma, tulang-belulang unta atau kambing yang telah dikeringkan, dan  mereka jadikan sebagai dokumen pribadinya. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit  r.a bahwa ia berkata : 
عـﻗّﺮﻟاﻦﻣنأﺮﻘﻟاﻒﻟﺆﻧﻢّﻠﺳوﻪﯿﻠﻋﷲاﻰﻠﺻﷲالﻮﺳرﺪﻨﻋﺎّﻨﻛ)ﻢﯿﻜﺤﻟاﻪﺟﺮﺧأ(
Artinya  :  “Kami  dahulu  menulis  (menyusun)  ayat-ayat  Al-Quran  di  hadapan  Rasulullah  pada
riqa’“. 
Adapun  yang  dimaksud    “menyusun  ayat-ayat  Al-Quran  pada  riqa’    pada  hadits tersebut  adalah  mengumpulkan  atau  menyusun  surah-surah  dan  ayat-ayat  berdasar petunjuk  yang  diberikan  Rasulullah  sesuai  menurut  apa  yang  dipesankan  Allah kepadanya.

C.  Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Abu Bakar Al-Shiddiq

Kaum muslimin melakukan konsensus untuk mengangkat Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah sepeninggal Nabi Saw. Pada awal pemerintahan Abu Bakar, terjadi kekacauan akibat ulah Musailamah al-Kazzab beserta pengikut-pengikutnya.Mereka menolak membayar zakat dan murtad dari Islam. Pasukan Islam yang dipimpin Khalid bin al-Walid segera menumpas gerakan itu. Peristiwa tersebut terjadi di Yamamah tahun 12 H. Akibatnya, banyak sahabat yang gugur, termasuk 70 orang yang diyakini telah hafal al-Qur’an.
Setelah syahidnya 70 huffazh, sahabat Umar ibn Khattab meminta kepada khalifah Abu Bakar, agar al-Qur’an segera dikumpulkan dalam satu mushaf.Dikhawatirkan al-Qur’an itu secara berangsur-angsur hilang, seandainya al-Qur’an itu hanya dihafal saja, karena para penghafalnya semakin berkurang.
Semula khalifah Abu Bakar itu ragu-ragu untuk mengumpulkan  dan membukukan ayat-ayat al-Qur’an, karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw. Tapi setelah beliau shalat istikharah, kemudian beliau mendapat kesesuaian pendapat dengan usul sahabat Umar bin Khattab.
Pada waktu munaqasyah antara khalifah Abu Bakar dengan sahabat Umar diundang pula penulis wahyu pada zaman Rasul yang paling ahli yaitu Zaid bin Tsabit. Kemudian ia menyetujui pula akan gagasan itu. lalu dibentuklah sebuah tim yang dipimpin Zaid bin Tsabit dalam rangka merealisasikan mandat dan tugas suci tersebut. Pada mulanya, Zaid keberatan, tetapi akhirnya juga dapat diyakinkan. Abu Bakar memilih Zaid bin Tsabit, mengingat kedudukannya dalam qira’at, penulisan, pemahaman, dan kecerdasan serta kehadirannya pada masa pembacaan Rasulullah Saw yang terakhir kalinya.
Zaid bin Tsabit melaksanakan tugas yang berat dan mulia tersebut dengan sangat hati-hati di bawah petunjuk Abu Bakar dan Umar. Sumber utama dalam penulisan tersebut adalah ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis dan dicatat di hadapan Nabi Saw dan hafalan para sahabat. Di samping itu, untuk lebih hati-hati, catatan-catatan dan tulisan al-Qur’an tersebut baru benar-benar diakui berasal dari Nabi Saw bila disaksikan oleh dua orang saksi yang adil.
Dalam rentang waktu kerja tim Zaid pernah suatu kali menjumpai kesulitan, mereka tidak menemukan naskah ayat 128-129 surah at-Taubah:
 لقدجاءكمرسولمنأنفسكمعزيزعليهماعنتمحريصعليكمبالمؤمنينرءوفرحيم.فإنتولوافقلحسبياللهلاإلهإلاهوعليهتكولتوهوربالعرشالعظيم
Padahal, banyak sahabat penghafal al-Qur’an termasuk Zaid sendiri jelas-jelas menghafal ayat tersebut.Akhirnya, naskah ayat tersebut ditemukan juga di tangan seorang yang bernama Abu Khuzaimah al-Anshari.
Hasil kerja Zaid yang telah berupa mushaf al-Qur’an disimpan oleh Abu Bakar sampai akhir hayatnya.Setelah itu berpindah ke tangan Umar ibn Khattab.Sepeninggal Umar mushaf disimpan oleh Hafshah binti Umar.
Dari rekaman sejarah di atas, diketahui bahwa Abu Bakar adalah orang pertama yang memerintahkan penghimpunan al-Qur’an. Umar bin al-Khattab adalah pelontar idenya serta Zaid bin Tsabit adalah pelaksana pertama yang melakukan kerja besar penulisan al-Qur’an secara utuh dna sekaligus menghimpunnya ke dalam satu mushaf.
Dalam masalah pengumpulan al-Qur’an ini, sedikitnya ada tiga pertanyaan yang perlu mendapat perhatian:
1.      Mengapa Abu Bakar ragu-ragu dalam masalah pengumpulan al-Qur’an padahal masalahnya sudah jelas baik dan diwajibkan oleh Islam?
Hal ini karena Abu Bakar khawatir kalau-kalau orang mempermudah terhadap usaha menghayati dan menghafal al-Qur’an, dan mencukupkan diri dengan hafalan yang tidak mantap. Dan dikhawatirkan mereka hanya berpegang dengan apa yang ditulis pada mushaf, sehingga akhirnya mereka lemah untuk menghafal al-Qur’an.
 2.      Mengapa Abu Bakar memilih Zaid bin Tsabit sebagai ketua?
Karena Zaid adalah orang yang betul-betul mempunyai pembawaan dan kemampuan yang tidak dimiliki sahabat yang lain, dalam hal mengumpulkan al-Qur’an. Ia adalah sahabat yang hafidz, ber-IQ tinggi, sekretaris wahyu yang menyaksikan sajian akhir wahyu, wara’ serta besar tanggung jawabnya, lagi sangat teliti.
3.      Apakah maksud kata-kata Zaid bin Tsabit: “Sampai aku menemukan akhir surat at-Taubah dari Abu Khuzaimah al-Anshari yang tidak ada pada orang lain.”
Hal tersebut tidak berarti bahwa ayat ini tidak ada pada hafalan Zaid dan sahabat-sahabat yang lain, karena mereka menghafalnya. Akan tetapi, beliau bermaksud hendak mengkompromikan antara hafalan dan tulisan serta dalam rangka kehati-hatian.Dan karena langkah lurus itulah, sempurna pulalah al-Qur’an.
Adapun karakteristik penulisan al-Qur’an pada masa Abu Bakar ini adalah:
1.      Seluruh ayat al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan penelitian yang cermat dan seksama.
2.      Meniadakan ayat-ayat al-Qur’an yang telah mansukh.
3.      Seluruh ayat yang ada telah diakui kemutawatirannya.
4.      Dialek Arab yang dipakai dalam pembukuan ini berjumlah 7 (qira’at) sebagaimana yang ditulis pada kulit unta pada masa Rasulullah.

D.  Pengumpulan al-Qur’an pada Masa Utsman bin Affan

Kemudian datanglah masa pemerintahan Amirul Mu`minin Utsman bin Affan ra. Di wilayah-wilayah yang baru dibebaskan, sahabat nabi yang bernama Hudzaifah bin al-Yaman terkejut melihat terjadi perbedaan dalam membaca al-Qur`an. Hudzaifah melihat penduduk Syam membaca al-Qur`an dengan bacaan Ubay bin Ka’ab. Mereka membacanya dengan sesuatu yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia melihat penduduk Irak membaca al-Qur`an dengan bacaan Abdullah bin Mas’ud, sebuah bacaan yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam. Implikasi dari fenomena ini adalah adanya peristiwa saling mengkafirkan di antara sesama muslim.  Perbedaan bacaan tersebut juga terjadi antara penduduk Kufah dan Bashrah.
Hudzaifah pun marah.Kedua matanya merah.
Hudzaifah berkata, “Penduduk Kufah membaca qiraat Ibnu Mas’ud, sedangkan penduduk Bashrah membaca qiraat Abu Musa. Demi Allah jika aku bertemu dengan Amirul Mu`minin, sungguh aku akan memintanya untuk menjadikan bacaan tersebut menjadi satu.”
Sekitar tahun 25 H, datanglah Huzaifah bin al-Yaman menghadap Amirul Mu`minin Utsman bin Affan di Madinah.
Hudzaifah berkata, “Wahai Amirul Mu`minin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka berselisih tentang al-Kitab (al-Qur`an) sebagaimana perselisihan Yahudi dan Nasrani.”
Utsman kemudian mengutus seseorang kepada Hafshah agar Hafshah mengirimkan lembaran-lembaran al-Qur`an yang ada padanya kepada Utsman untuk disalin ke dalam beberapa mushhaf, dan setelah itu akan dikembalikan lagi.
Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembaran al-Qur`an itu kepada Utsman.
Utsman lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin al-‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya ke dalam beberapa mushhaf.
Utsman bertanya, “Siapa yang orang yang biasa menulis?”
Dijawab, “Penulis Rasulullah saw adalah Zaid bin Tsabit.”
Utsman bertanya lagi, “Lalu siapa oang yang paling pintar bahasa Arabnya?”
Dijawab, “Said bin al-‘Ash.
Utsman kemudian berkata, “Suruhlah Said untuk mendiktekan dan Zaid untuk menuliskan al-Qur`an.”
Saat proses penyalinan mushhaf berjalan, mereka hanya satu kali mengalami kesulitan, yakni adanya perbedaan pendapat tentang penulisan kata “at-Taabuut”.
Seperti diketahui, yang mendiktekannya adalah Said bin al-Ash dan yang menuliskannya adalah Zaid bin Tsabit. Semua dilakukan di hadapan para sahabat. Ketika Said bin al-Ash mendiktekan kata at-Taabuut maka Zaid bin Tsabit menuliskannya sebagaimana ditulis oleh kaum Anshar yaitu at-Taabuuh, karena memang begitulah menurut bahasa mereka dan begitulah mereka menuliskannya. Tetapi anggota tim lain memberitahukan kepada Zaid bahwa sebenarnya kata itu tertulis di dalam lembaran-lembaran al-Qur`an dengan Ta` Maftuhah, dan mereka memperlihatkannya ke Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit memandang perlu untuk menyampaikan hal itu kepada Utsman supaya hatinya menjadi tenang dan semakin teguh. Utsman lalu memerintahkan mereka agar kata itu ditulis dengan kata seperti dalam lembaran-lembaran al-Qur`an yaitu dengan Ta` Mahtuhah. Sebab hal itu merupakan bahasa orang-orang Quraisy, lagi pula al-Qur`an diturunkan dengan bahasa mereka. Akhirnya ditulislah kata tersebut dengan Ta` Maftuhah.
Demikianlah, mereka tidak berbeda pendapat selain dari perkara itu, karena mereka hanya menyalin tulisan yang sama dengan yang ada pada lembaran-lembaran al-Qur`an, dan bukan berdasarkan pada ijtihad mereka.
Setelah mereka menyalin lembaran-lembaran tersebut  ke dalam mushhaf, Utsman segara mengembalikannya kepada Hafshah.
Utsman kemudian mengirimkan salinan-salinan mushhaf ke seluruh wilayah negeri Islam agar orang-orang tidak berbeda pendapat lagi tentang al-Qur`an. Jumlah salinan yang telah dicopy sebanyak tujuh buah. Tujuh salinan tersebut dikirimkan masing-masing satu copy ke kota Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah dan Madinah. Mushhaf inilah yang kemudian dikenal dengan nama Mushhaf Utsmani.
Utsman kemudian memerintahkan al-Qur`an yang ditulis oleh sebagian kaum muslimin yang bertentangan dengan Mushhaf Utsmani yang mutawatir tersebut untuk dibakar.
Pada masa berikutnya kaum muslimin menyalin mushhaf-mushhaf yang lain dari mushhaf Utsmani tersebut dengan tulisan dan bacaan yang sama hingga sampai kepada kita sekarang.
Adapun pembubuhan tanda syakal berupa fathah, dhamah, dan kasrah dengan titik yang warna tintanya berbeda dengan warna tinta yang dipakai pada mushhaf yang terjadi di masa Khalifah Muawiyah dilakukan untuk menghindari kesalahan bacaan bagi para pembaca al-Qur`an yang kurang mengerti tata bahasa Arab. Pada masa Daulah Abbasiyah, tanda syakal ini diganti.Tanda dhamah ditandai dengan dengan wawu kecil di atas huruf, fathah ditandai dengan alif kecil di atas huruf, dan kasrah ditandai dengan ya` kecil di bawah huruf.
Begitu pula pembubuhan tanda titik di bawah dan di atas huruf di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwandilakukan untuk membedakan satu huruf dengan huruf lainnya.
Dengan demikian, al-Qur`an yang sampai kepada kita sekarang adalah sama dengan yang telah dituliskan di hadapan Rasulullah saw. Allah SWT telah menjamin terjaganya al-Qur`an. Tidak ada orang yang berusaha mengganti satu huruf saja dari al-Qur`an kecuali hal itu akan terungkap.
Allah SWT berfirman:
Innaa nahnu nazzalnadz dzikra wa innaa laHu lahaafizhuun
Artinya:
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr [15]: 9)







E.   Manfaat Sejarah Pengumpulan Al-Qur’an

Pemeliharaan al-Qur’an, yang dimulai dengan penghafalan oleh para sahabat di zaman Rasulullah saw., pengumpulan berupa mushaf pada masa Khalifah Abu Bakar dan penulisannya pada masa Usman bin Affan manfaatnya telah dirasakan di masa sekarang ini, yaitu terpeliharanya keaslian dan keotentikan redaksi Al-Qur’an. Sekiranya ayat-ayat Al-Qur’an sampai kini masih diatas pelepah tamar atau yang lainnya, maka sudah barang tentu pelepah tamar tersebut lama kelamaan akan lapuk dan hancur bercerai berai. Demikian pula yang dihafal oleh para sahabat akan hilang seiring dengan wafatnya banyak sahabat yang hafal al-Qur’an di medan perang.
Ada beberapa manfaat yang dapat diambil oleh umat manusia dengan terpeliharanya al-Qur’an yaitu :
1.Al-Qur’an menjadi satu-satunya kitab suci yang sama sekali redaksinya tidak pernah mengalami perubahan. Apa yang dibaca dari isi Al-Qur’an sekarang adalah sama dengan apa yang dibaca oleh para sahabat empat belas abad yang lalu.
2. Terpeliharanya keotentikan Al-Qur’an menjadikannya sebagai sumber pertama ajaran Islam, ia berisi nilai-nilai ajaran yang bersifat global, unversal, dan mendalam karena itu perlu penjelasan lebih lanjut. Di sinilah pentingnya peranan tafsir guna menjelaskan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud Al-Qur’an.
3. Al-Qur’an menjadi al-furqan yang berarti pembeda. Dengan membaca dan memahami al-Qur’an, orang dapat membedakan dan memisahkan antara yang hak dan yang batil. Selain itu al-Qur’an juga menjadi az-zikra, yaitu peringatan yang mengingatkan manusia akan posisinya sebagai mahluk Allah yang memiliki tanggung jawab.
4. Terpeliharanya keotentikan dan keaslian redaksi Al-Qur’an, menjadikannya sebagai sumber ilmu pengetahuan. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk yang tersurat dan tersirat yang berkaitan dengan ilmu pengetauan. Isyarat-isyarat ilmiah al-Qur’an ternyata dapat dibuktikan kebenarannya oleh ilmuan di abad modern saat ini.



F.   Kesimpulan

Pengumpulan Qur’an (Jam’ul Qur’an) menurut para ulama’ memiliki dua pengertian; Pertama, pengumpulan  dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati). Jumma’ul Qur’an artinya huffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya di dalam hati).
  Kedua, pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan Al-Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.
Rasulullah selalu merindukan wahyu dari Allah, sehingga ia selalu menghafal dan memahaminya dan oleh sebab itu sering disebut hafiz (penghafal) Al-Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah.
Abu ‘Amr dalam kitab Al Muhkam menerangkan bahwa Zaid ibnu Tsabit: “Umar ibn Khotob datang kepada Abu Bakar, lalu mengatakan bahwa peperangan Zamamah telah banyak memusnahkan para Qurra. Aku takut akan kehilangan al- Quran, karena itu aku minta supaya tuan menuliskannya”.
Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbijan dengan penduduk Irak, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Khudzaifah bin Al Yaman. Ia melihat banya perbedaan dalam cara-cara membaca Al Quran. Meliha kenyataan demikian Khuzaimah segera menghadap Usman dan melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya.
Usman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar kepadanya) dan Hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya kemudian Usman memanggil Zaid bi tsabit Al Ansari, Abdullah bin Zubair, Said bin ‘Ass, dan Abdurrahman Harits bin Hisyam, lalu memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf.


Ada beberapa manfaat yang dapat diambil oleh umat manusia dengan terpeliranya al-Qur’an yaitu : (1) Al-Qur’an menjadi satu-satunya kitab suci yang sama sekali redaksinya tidak pernah mengalami perubahan. (2) Terpeliharanya keotentikan Al-Qur’an menjadikannya sebagai sumber pertama ajaran Islam. (3) Al-Qur’an menjadi al-furqan yang berarti pembeda. (4) Terpeliharanya keotentikan dan keaslian redaksi Al-Qur’an, menjadikannya sebagai sumber ilmu pengetahuan.


G.  Penutup

Pada masa Rasulullah Saw., setiap ayat yang turun langsung beliau ajarkan kepada para shahabatnya. Selain menyuruh mereka untuk menghafal, Rasulullah Saw.juga memerintahkannya untuk mencatat guna memperkuat hafalan mereka. Di antara para penulis Al-Quran terkemuka, baik dan indah tulisannya yang ditunjuk Rasul adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, Mu’awiyah, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Mua’dz bin Jabal. Namun karena keterbatasan alat-alat tulis, maka ayat-ayat al-Quran pada masa itu mereka tulis pada lembaran kulit, daun-daunan, kulit kurma, permukaan batu, pelepah kurma, tulang-belulang unta atau kambing yang telah dikeringkan dan sebagainya.
 Selanjutnya seiiring dengan perkembangan, secara berangsur-angsur dari generasi ke generasi upaya perbaikan bentuk penulisan al-Quran terus dilakukan hingga waktu sekarang ini. Oleh karena itu, dengan perjuangan yang gigih telah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya, marilah kita lanjutkan perjuangan beliau dengan mempelajari dan memahami Al-Qur’an.





H.  Daftar Pustaka

6.      Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Drs. Mudzakir, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007


[1]Lihat Shubhi al-Shaleh, Mabahits fi ‘Ulum al-Quran, Beirut : Dar al-‘Ilm, li al-Malayin, 1977, hal. 71  

4 komentar: