Hukum
Pendakwah Wanita
Sebelum kita
membahas hukum pendakwah wanita, kami akan membahas pengertian dari dakwah itu
sendiri.
Menurut
al-Bustaniy, perkataan dakwah adalah perkataan Arab “da’a” yang pada asalnya
bererti seruan, panggilan, jemputan atau undangan. Manakala dari segi istilah
pula, para ulama’ telah mengemukakan beberapa definisi.
Menurut
Ghalwasy, perkataan dakwah mempunyai dua pengertian, yaitu agama Islam dan
kegiatan menyebarkan agama Islam. Sheikh Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan pula
menyatakan bahawa dakwah ialah panggilan atau seruan ke jalan Allah Ta’ala, yaitu
agama Islam, agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Manakala menurut
Al-Ansari, dakwah ialah usaha membentuk perbuatan atau percakapan untuk menarik
manusia kepada kebaikan dan mendapat petunjuk Allah Ta’ala dalam kehidupan
mereka.
Oleh yang
demikian dapat disimpulkan bahwa, dakwah ialah seruan untuk melakukan kebaikan
dan menjauhi keburukan ke arah mendapat petunjuk Allah Ta’ala dalam kehidupan
seharian.
Menurut
Al-Ghazali,dakwah adalah satu program yang lengkap, merangkum semua ilmu
pengetahuan yang diperlukan oleh manusia untuk menjelaskan tujuan dan matlamat
hidup.
Dakwah adalah
tugas utama para rasul dan mereka ini diutuskan oleh Allah Ta’ala untuk
menyampaikan risalah dakwah kepada seluruh alam.
Sebagaimana
Firman Allah Ta’ala Maksudnya:
“Hai nabi,
sesungguhnya kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa khabar gembira
dan pemberi peringatan dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan
izinNya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi”.
al-Ahzab
(33):45-46
Selepas
Rasulullah s.a.w wafat, umat Islam telah diperintahkan oleh Allah Ta’ala supaya
meneruskan tugas baginda yang murni itu agar ajaran Islam dapat berkembang
keseluruh alam dengan lebih sempurna.
Maka dapat
disimpulkan bahwa, pendakwah ialah orang yang menyeru manusia ke jalan Allah
Ta’ala dengan menyuruh manusia melakukan perkara-perkara yang ma’ruf dan menjauhi
perkara-perkara yang mungkar.
Lalu bagaimana
hukum pendakwah wanita, apakah diperbolehkan atau tidak? Kami berpendapat bahwa
pendakwah wanita diperbolehkan dengan alasan bahwa suara wanita menurut Imam
Syafi’i bukan merupakan suatu aurat yang perlu ditutupi.
Pendapat
yang ashoh dalam madzhab syafi'i menyatakan bahwa suara wanita bukanlah aurot,
karena istri-istri Nabi sendiri biasa meriwayatkan hadits kepada para lelaki,
selain itu, dizaman nabi ketika ada seorang wanita meminta penjelasan tentang
persoalan agama, para wanita menyampaikannya langsung pada Nabi, seperti
dikisahkan dalam satu hadits, sebagai berikut :
عَنْ
عَائِشَةَ، قَالَتْ: دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ
عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ
اللهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ، لَا يُعْطِينِي مِنَ النَّفَقَةِ
مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ
عِلْمِهِ، فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ
وَيَكْفِي بَنِيكِ
"Dari ‘Aisyah berkata : Hindun bintu ‘Utbah yakni
istri Abu Sufyan datang menemui Rasulullah saw lalu dia berkata : wahai
Rasulullah, sungguh Abu Sufyan itu adalah laki-laki yang pelit (bakhil), dia
tidak memberi nafkah kepada saya yang mencukupi kebutuhan saya maupun anak saya
kecuali jika aya mengambil dari harta dia tanpa sepengetahuannya. Apakah
perbuatan saya itu dosa? Maka Rasulullah saw menjawab : ambillah olehmu dari
harta dia secukupnya hingga akan dapat memenuhi kebutuhan dirimu dan
anakmu." (Shohih Muslim,
no.1714)
Dengan
adanya hadits diatas, jumhur ulama
sepakat bahwa suara wanita itu bukan aurat. Sehingga laki-laki asing yang bukan
mahramnya boleh mendengar suara seorang wanita dewasa. Sehingga mendengar
wanita berbicara atau bersuara, tidaklah termasuk hal yang terlarang dalam
Islam.
Di
antara dalil bahwa suara wanita bukan aurat adalah bahwa para istri Nabi
berbicara langsung dengan para shahabat, tanpa menggunakan perantara mahram
atau juga tidak dengan tulisan.Ketika ibunda mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha
meriwayatkan hadist
dari Rasulullah SAW, beliau tidak menuliskannya di dalam sebuah makalah atau
buku, melainkan beliau berbicara langsung kepada para shahabat Rasulullah SAW.
Padahal beliau termasuk perawi hadits yang sangat produktif, sehingga bisa kita
bayangkan bahwa sosok beliau adalah seorang guru atau dosen agama wanita yang
banyak berceramah atau memberi kuliah di depan para shahabat lainnya. Bahkan
hampir semua hadits tentang fiqih wanita, didapat oleh para shahabat dari
kuliah-kuliah yang disampaikan oleh Aisyah ra.
Semua
ini menunjukkan bahwa tidak ada larangan dalam syariah untuk mendengar suara
wanita. Sebab kalau suara wanita dikatakan sebagai aurat, seharusnya kita tidak
akan pernah menemukan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah dan ummahatul
mukminin lainnnya. Namun kenyataannya, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh istri-istri
nabi SAW sangat banyak menghiasi kitab-kitab hadits.
Demikian
juga klta ketahui bahwa Rasulullah SAW berbicara langsung juga dengan para
wanita shahabiyah, juga tidak menggunakan perantaraan atau pun tulisan. Bahkan
ketika Rasulullah SAW berbai’at, beliau berbicara dengan para wanita secara
langsung. Tidak lewat surat atau tulisan sebagaimana yang sering kita lihat di
zaman sekarang ini. Tentunya kita ingat bahwa Rasulullah SAW punya satu hari
khusus untuk mengajarkan para wanita ilmu-ilmu agama. Dan pengajaran ini
diberikan langsung oleh Rasulullah SAW tanpa perantaraan para istrinya. Beliau
berbicara dan berdialog secara langsung dengan para wanita.
Lebih
jauh lagi, kita pun mendapatkan riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW
dan beberapa shahahat diriwayatkan pernah mendengar nyanyian yang dinyanyikan
para wanita anshar. Dan beliau tidak melarang mereka dari bernyanyi. Lepas dari
perbedaan para ulama dalam menetapkan hukum nyanyian.
Maka
dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarang wanita bersuara di depan orang
laki-laki, karena suara mereka bukan termasuk aurat. Dan hal ini sudah sampai
kepada suara mayoritas dari nyaris hampir semua ulama. Boleh dikatakan bahwa
jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa suara seorang wanita pada dasarnya bukan
aurat.
Batasan-batasan
wanita saat berdakwah, seorang wanita yang identik dengan batasan-batasan dalam
melakukan sesuatu hal harus berdasarkan hukum-hukum Islam yang berlaku,
batasa-batasan tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Bagi seorang wanita hendaknya tidak merendahkan/melembutkan suaranya didepan
laki-laki lain (laki-lakiyang bukan mahromnya) agar tidak menimbulkan fitnah.
Alloh berfirman :
فَلَا
تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ
"Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya." (Q.S. Al-Ahzab :
32)
Yang
dimaksud dengan tunduk di sini ialah berbicara dengan sikap yang menimbulkan
keberanian orang bertindak yang tidak baik terhadap mereka. Sedangkan
yang dimaksud dengan dalam hati mereka ada penyakit Ialah: orang yang mempunyai
niat berbuat serong dengan wanita, seperti melakukan zina. Karena itulah,
meskipun suara wanita bukanlah aurot, tapi para ulama' menetapkan bahwa apabila
orang yang mendengarnya takut menimbulkan fitnah atau merasa ladzdzah (enak),
maka diharomkan baginya mendengar suara seorang wanita.
2.
Bila dalam bersuara itu para wanita
melakukan rayuan, atau mendesah-desahkan suaranya, apalagi bergoyang pinggul
yang akan melahirkan birahi para lelaki,
sampailah kepada keharamannya. Sebab itu sudah merupakan bagian dari fitnah
wanita. Jadi yang mengharamkan suara wanita, karena di balik itu ada fitnah dan
madharat yang hendak dijauhi.
3.
Apabila dalam berdakwah
berkewajiban menutupi auratnya sebagai seorang wanita muslimah. Diantaranya
adalah sebagai berikut:
a.
Bulu Kening
Menurut riwayat Bukhari, Rasullulah SAW
melaknat perempuan yang mencukur atau menipiskan bulu kening atau meminta
supaya dicukurkan bulu kening.
b.
Kaki
(tumit kaki)
"Dan janganlah mereka (perempuan)
membentakkan kaki (atau mengangkatnya) agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan." (An-Nur: 31)
c.
Wangian
"Siapa sahaja wanita yang memakai
wangi-wangian kemudian melewati suatu kaum supaya mereka itu mencium baunya,
maka wanita itu telah dianggap melakukan zina dan tiap-tiap mata ada
zina." (Riwayat Nasaii, Ibn Khuzaimah dan Hibban).
d.
Dada
"Hendaklah mereka (perempuan) melabuhkan
kain tudung hingga menutupi dada-dada mereka." (An-Nur : 31)
e.
Gigi
Rasullulah SAW melaknat perempuan yang mengikir
gigi atau meminta supaya dikikirkan giginya. (Riwayat At-Thabrani)
"Dilaknat perempuan yang menjarangkan
giginya supaya menjadi cantik, yang mengubah ciptaan Allah." (Riwayat
Bukhari dan Muslim).
f.
Muka dan Tangan
Asma Binti Abu Bakar telah menemui Rasullulah
SAW dengan memakai pakaian yang tipis. Sabda Rasullulah SAW:
"Wahai Asma! Sesungguhnya seorang gadis
yang telah berhaid tidak boleh baginya menzahirkan anggota badan kecuali
pergelangan tangan dan wajah saja." (Riwayat Muslim dan Bukhari).
g.
Tangan
"Sesungguhnya kepala yang ditusuk dengan
besi itu lebih baik daripada menyentuh kaum
yang bukan sejenis yang tidak halal baginya"(Riwayat At Tabrani dan
Baihaqi).
h.
Mata
"Dan katakanlah kepada perempuan mukmin
hendaklah mereka menundukkan sebahagian dari pandangannya." (An Nur : 31).
Sabda Nabi SAW, "Jangan sampai pandangan
yang satu mengikuti pandangan lainnya. Kamu hanya boleh pandangan yang pertama,
pandangan seterusnya tidak dibenarkan." (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan
Tirmidzi).
i.
Pakaian
"Barangsiapa memakai pakaian yang
berlebih-lebihan, maka Allah akan memberikan pakaian kehinaan di hari akhirat
nanti." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, An Nasaii dan Ibn Majah)
"Sesungguhnya sebilangan ahli neraka ialah
perempuan-perempuan yang berpakaian tapi telanjang yang condong pada maksiat
dan menarik orang lain untuk melakukan maksiat. Mereka tidak akan masuk syurga
dan tidak akan mencium baunya." (Riwayat Bukhari dan Muslim).
"Hai nabi-nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, hendaklah
mereka memakai baju jilbab (baju labuh dan longgar) yang demikian itu supaya
mereka mudah dikenali. Lantaran itu mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang." (Al Ahzab : 59).
j.
Rambut
"Wahai anakku Fatimah! Adapun
perempuan-perempuan yang akan digantung rambutnya hingga mendidih otaknya dalam
neraka adalah mereka itu di dunia tidak mahu menutup rambutnya daripada dilihat
oleh lelaki yang bukan mahramnya." (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Adapun juga hukum suara wanita dalam beribadah
:
Suara Wanita Ketika Beribadah
Displin Islam dalam hal ini boleh
dilihat dari perkara di bawah ini:
1)
Ingin Menegur Imam semasa solat,
Jika kaum wanita ingin menegur imam lelaki yang tersilap bacaan atau terlupa rakaat dan lainnya. Nabi SAW hanya membenar para wanita mengingatkan imam dengan menggunakan tepukan saja.
Haditsnya :
فقال
رسول الله صلى الله عليه وسلم ما لي رأيتكم أكثرتم التصفيق من رابه شيء في
صلاته فليسبح فإنه إذا سبح التفت إليه وإنما التصفيق للنساء
صلاته فليسبح فإنه إذا سبح التفت إليه وإنما التصفيق للنساء
Artinya: Berkata Rasulullah SAW,
mengapa aku melihat kamu banyak bertepuk apabila ragu-ragu (waswas) dalam
sesuatu perkara semasa solatnya. Hendaklah kamu (lelaki) bertasbih dan
sesungguhnya tepukan itu hanya untuk wanita.” (Riwayat Al-Bukhari, no 652)
Arahan Nabi untuk wanita bertepuk
untuk membantu imam itu adalah menjaga suaranya dari pendengaran orang lelaki
yang sedang solat (Faidhul qadir, 3/281; Al-hawi al-Kabir, 9/17)
2) Wanita dan azan
Imam al-Jassas ketika mentafsirkan
ayat dari surah al-ahzab tadi menyebut bahwa ayat ini memberi hukum bahwa
wanita dilarang dari menaungkan azan terutamanya jika kemerduan suaranya
dijangka mampu mengoda hati sang lelaki ( Ahkam al-Quran, 5/229 dengan pindaan
ringkas)
Demikian juga pandangan mazhab
Syafi’i dan hanbali, dan tidak diketahui ada yang menyanggah pendapat ini , (kata
Imam Ibn Quddamah, Al-Mughni,
2/68)
2/68)
3)
Wanita menjadi imam solat kepada wanita lain atau ketika solat
Sudah tentu wanita harus untuk
menjadi imam kepada wanita lain, tetapi mereka tidak dibenarkan mengeraskan
bacaan quran mereka jika di tempat itu terdapatnya para lelaki yang bukan
mahramnya. (Al-Mughni, Ibn Quddamah)
Imam Ibn Hajar berkata: “jika
dikatakan bahwa sekiranya wanita menguatkan bacaannya ketika solat maka
solatnya batal, adalah satu pendapat yang
ada asasnya” (Fath Al-Bari, 9/509)
ada asasnya” (Fath Al-Bari, 9/509)
Jelas bahwa suara wanita yang
dilagukan atau dalam keadaan biasa apabila melibatkan soal ibadah hukumnya
dilihat semakin ketat karena dibimbangi
menggangu ibadah wanita itu terbawa kepada kerusakan kaum lelaki yang lemah ini. Kerana itu disebutkan
menggangu ibadah wanita itu terbawa kepada kerusakan kaum lelaki yang lemah ini. Kerana itu disebutkan
فرع: صرّح في النوازل
بأنّ نغمة المرأة عورة..ولهذا قال عليه الصلاة والسلام: (التسبيح للرجال والتصفيق
للنساء، فلا يحسن أن يسمعها الرجل)
Artinya: Ditegaskan bahwa suara
wanita yang dilagukan adalah aurat, kerana itu Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya
tasbih untuk lelaki, dan tepukan
khas untuk wanita, maka tiada harus didengari ‘tasbih’ wanita oleh si lelaki”. ( Syarh Fath Al-Qadir, 1/206 )
khas untuk wanita, maka tiada harus didengari ‘tasbih’ wanita oleh si lelaki”. ( Syarh Fath Al-Qadir, 1/206 )
4) Suara wanita dan talbiah Haji
Ijma’ ulama bahawa wanita
tidak mengangkat suaranya kecuali hanya didengari oleh dirinya saja, demikian pendapat
Ato’, Imam Malik, Syafi’i, Hanafi. ( AL-Um, 2/156 ; Al-MUghni , Ibn Quddamah,
5/16 )
Berbagai
persoalan berlaku kepada masyarakat Islam yang menuntut kaum wanita berperanan
aktif dalam bidang dakwah terutama kepada kaum mereka sendiri. Keperluan
kepada pendakwah wanita menjadi semakin relevan atas kapasiti pendakwah
wanitalah lebih memahami tabiat, kedudukan dan permasalahan yang dihadapi oleh
golongan wanita sendiri. Mereka akan lebih berupaya menembusi hati para mad’u
(sasaran dakwah) melalui pendekatan yang bersesuaian dengan fitrah kaum wanita
itu sendiri.
Keistimewaan wanita berdakwah juga terserah
atas kapasiti mempunyai sifat-sifat keperibadian, kejiwaan dan perasaan yang
lebih mampu dipahami oleh wanita sendiri. Selain itu, sesetengah bidang yang
didominasi oleh kaum wanita juga menuntut kepada kehadiran pendakwah wanita.
Pendakwah
wanita bukan saja menjadi role model, malah sumbangan mereka dalam kemajuan ummah dapat membantu mencorakkan
pembangunan masyarakat Islam. Pengaruh dan peranan pendakwah wanita sejak
dahulu tidak dinafikan telah mempengaruhi perjalanan sejarah yang akhirnya
mencorakkan keadaan sesebuah negara. Melalui dakwah, kaum wanita menjalankan
aktifitasnya dalam kehidupan masyarakat Islam serta bertindak sebagai satu
komponen penting dalam sistem dan mengokohkan tiang-tiang agama Islam.
Wanita
berdakwah telah ada sejak awal masyarakat Islam . Contohnya adalah mengenai
peranan wanita di dalam dakwah ialah Ummu ‘Atiyyah al-Ansariyyah yang telah
menjadikan rumahnya tempat tumpuan kaum lelaki dalam menimba ilmu. Dalam
wilayah berdakwahnya, beliau begitu terkenal kerana keaktifannya di dalam
berdakwah menyampaikan ajaran Islam di kalangan berbagai qabilah pada
zaman Nabi s.a.w. Semangat dakwah beliau tidak pernah luntur walaupun pernah
disiksa dan dipenjarakan.
Berdakwah
adalah tanggungjawab lelaki dan wanita. Firman Allah s.w.t
dalam surah at-Taubah ayat 71 yang bermaksud: “Dan orang-orang yang
beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang maaruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan solat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Lalu
bagaimana dengan wanita yang berdakwah melalui lagu? Setiap hasil untung dari
jualan kaset nasyid wanita dewasa ini juga tidak lain kecuali hasil yang haram
menurut sepakat ulama mazhab.
Kecuali jika ia khas untuk wanita dan dijual
secara tertutup di majlis wanita saja. Persembahan juga untuk kaum wanita.
Dibawah ini ada hadits yang menerangkan tentang dua orang jariah (hamba wanita)
yang sedang bernyanyi:
عن
عَائِشَةَ رضي الله عنها قالت دخل أبو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ
من جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ
يوم بُعَاثَ قالت وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فقال أبو بَكْرٍ
أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ في بَيْتِ رسول اللَّهِ وَذَلِكَ في يَوْمِ عِيدٍ فقال رسول اللَّهِ يا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
من جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ
يوم بُعَاثَ قالت وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فقال أبو بَكْرٍ
أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ في بَيْتِ رسول اللَّهِ وَذَلِكَ في يَوْمِ عِيدٍ فقال رسول اللَّهِ يا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
Artinya: Dari ‘Aisyah r.a berkata : Abu Bakar ( bapa Aisyah
r.a ) masuk ke rumah dan bersamaku dua orang jariah (hamba wanita) dari
kalangan bangsa Ansar sedang menyanyi dengan kisah-kisah Ansar ketika hari
Bu’ath, lalu asiyah berkata: Mereka berdua bukanlah penyanyi, Berkata Abu
Bakar r.a: ” Adakah seruling Syaitan di rumah Rasulullah SAW? Maka Rasul
berkata: WAhai Abu Bakar, ini adalah hari raya). [HR Bukahri, 1/335]
Dalam riwayat lain:
عن عَائِشَةَ قالت دخل عَلَيَّ رسول اللَّهِ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ
تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثَ فَاضْطَجَعَ على الْفِرَاشِ وَحَوَّلَ
وَجْهَهُ وَدَخَلَ أبو بَكْرٍ فَانْتَهَرَنِي وقال مِزْمَارَةُ
الشَّيْطَانِ عِنْدَ النبي فَأَقْبَلَ عليه رسول اللَّهِ عليه السَّلَام
فقال دَعْهُمَا
تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثَ فَاضْطَجَعَ على الْفِرَاشِ وَحَوَّلَ
وَجْهَهُ وَدَخَلَ أبو بَكْرٍ فَانْتَهَرَنِي وقال مِزْمَارَةُ
الشَّيْطَانِ عِنْدَ النبي فَأَقْبَلَ عليه رسول اللَّهِ عليه السَّلَام
فقال دَعْهُمَا
Artinya: “Daripada ‘Aisyah, Rasulullah SAW
masuk ke rumah dan bersamaku dua orang jariah (hamba wanita) dari kalangan
bangsa Ansar sedang menyanyi dengan kisah-kisah Ansar ketika hari Bu’ath, maka
baginda terus baring dan memalingkan wajanya, maka masuk pula Abu Bakar r.a
lalu menegurku sambil berkata, adakah seruling syaitan di sisi nabi SAW, maka
nabi terus mendapatkannya lalu berkata : Biarkannya”.
Secara ringkas, hujjah untuk mengatakan terdapat persanggahan
atau harusnya nasyid wanita dengan dalil ini adalah tersasar dari kebenaran
kerana:
1) Ia dipersembahkan oleh hamba wanita. Maka hukum
hamba adalah berbeda dengan hukum wanita merdeka dalam banyak hukum fiqh.
2) Dua orang jariah itu digambarkan dalam banyak riwayat
lain sebagai bukan penyanyi khas, yang pandai menyanyi dengan teknik menyanyi
yang dikenali dengan melembutkan suara, memerdu dan melunakkannya sebagaimana
penyanyi profesional. Ini disebutkan melalui nas
“وليستا بمغنيتين”
Imam An-Nawawi dan Imam Ibn Hajar
al-Asqolani mentafsirkannya sebagai:
معناه ليس
الغناء عادة لهما ولا هما معروفتان به
Artinya: Maknanya, ia bukanlah nyanyian yang
biasa digunakan pada masa itu, dan keduanya juga tidak dikenali
pandai menyanyi (Nawawi, Syarh muslim, 6/182 : fath Al-Bari, 2/442)
3) Rasulullah
juga digambar tidak turut serta menikmatinya tetapi hanya membiarkannya
dinikmati oleh ‘Aisyah.
Ia juga adalah di dalam rumah Nabi Saw dan bukan di khlayak
ramai. Imam An-Nawawi mengulas bahawa Nabi juga disebut berpaling wajah :
وإنما سكت
النبي عنهن لأنه مباح لهن وتسجى بثوبه وحول وجهه اعراضا عن اللهو ولئلا يستحيين
فيقطعن ما هو مباح لهن
Artinya: Nabi senyap dari tindakan itu kerana
ia harus bagi wanita, dan nabi menutup dengan pakaiannya dan berpaling wajah
darinya sebagai menjauhi perkara melalaikan” (Syarah Sohih Muslim, An-Nawawi,
6/183)
4) Takrif
‘Jariah’ selain bermaksud hamba, ia juga digunakan untuk kanak-kanak wanita
belum baligh. Sebagaimana disebut oleh Imam al-Aini & Imam As-Suyuti :-
قوله
جاريتان تثنية جارية والجارية في النساء كالغلام في الرجال ويقال على من دون
البلوغ
Artinya: Dua orang jariah: disebutkan
bagi mereka yang dibawah umur baligh (Umdatul Qari, 6/269)
قوله
جاريتان الجارية في النساء كالغلام في الرجال يقعان على من دون البلوغ
Artinya: Jariah untuk wanita, ghulam panggilan
untuk lelaki yang keduanya digunakan untuk mereka yang di bawah umur baligh.
(Sindi, 3/194: Syarhu As-Suyuti li sunan An-Nasaie, 3/197 )
Hal ini juga disebut di dalam Awnul
Ma’bud :
لأنهما
جاريتان غير مكلفتين تغنيان بغناء الأعراب
Artinya : kerana mereka
berdua belum mukallaf ( belum baligh) lalu mereka menyanyikan lagu-lagu a’rab (
Awnul Ma’bud, 13/181)
Kesimpulan dari pembahasan diatas
adalah hukum pendakwah wanita adalah boleh asalkan dengan batasan-batasan yang
harus ditaati demi kebaikan umat. Pendakwah wanita harus menutup auratnya agar tidak
menimbulkan fitnah bagi kaum laki-laki, dan pendakwah wanita juga harus bisa
menempatkan diri pada tempat yang seharusnya. Serta dalam pembahasan diatas,
kami juga dapat menyimpulkan bahwa suara wanita bukanlah aurat.