Powered By Blogger

Senin, 17 Juni 2013

Contoh Makalah Tentang Hakim Dalam Syariat Islam


i.            PENDAHULUAN
Hakim adalah seseorang yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur menurut undang-undang, seseorang yang memutus suatu perkara secara adil berdasar atas bukti-bukti dan keyakinan yang ada pada dirinya sendiri. Dalam melakukan kekuasaan kehakiman hakim dihadapkan dengan berbagai hal yang dapat mempengaruhi putusannya nanti. Dengan demikian jabatan hakim ini menjadi sangat penting karena memutus suatu perkara bukanlah hal mudah. Ia harus sangat berhati-hati menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah sebab yang bersalah kadang-kadang dibenarkan. Sedang yang benar terkadang disalahkan.
Seorang hakim menjadi sangat rentan akan berbagai penyimpangan akan berbagai penyimpangan baik yang dilakukan secara sengaja misalnya memutus seseorang yang bersalah kemudian dibenarkan hanya karena memberikan uang kepada hakim tersebut ataupun yang dilakukannya secara tidak sengaja misalnya memutus seseorang yang tidak bersalah karena bukti-bukti yang menunjukan demikian.
Segala sesuatunya akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT. Oleh sebab itu jabatan hakim mendapat perhatian khusus, antara lain dalam hukum positif terlihat dengan adanya undang-undang pokok kehakiman yang secara khusus mengatur tata cara peradilan termasuk jabatan hakim. Tak hanya dalam hukum positif dalam hukum Islam pun jabatan hakim mendapat perhatian khusus dengan ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang jabatan hakim ini bahkan jauh sebelum hukum positif mengaturnya.



ii.            PEMBAHASAN
       I.            Pengertian Hakim
Hakim adalah orang yang diangkat oleh penguassa untuk mengadili perkara diantara manusia menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang bersumber dari hukum Islam. Pengangkatan hakim oleh penguasa, karena penguasa tidak mampu melaksanakan lembaga peradilan sendiri. Kata hakim dikatakan Qadhi sebagai orang yang memutuskan, mengakhiri atau menyelesaikan perkara.
Pada masa Rasulullah SAW yang menjadi hakim dan jaksa penuntut umum adalah Rasulullah sendiri dan hukum yang hendak dijatuhkan wajib menurut hukum yang diturunkan Allah SWT. Dalam firman-Nya dalam surat An-Nissa ayat 105, yang berbunyi :
خَصِيمًا لِلْخَائِنِينَ تَكُنْ وَلَا ۚاللَّهُ أَرَاكَ بِمَا النَّاسِ بَيْنَ لِتَحْكُمَ بِالْحَقِّ الْكِتَابَ إِلَيْكَ أَنْزَلْنَا إِنَّا

Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (Q.S. An-Nisa’ : 105)
Dalam ayat lain Allah berfirman pula: “Dan barang siapa yang tidak menghukum dengan hukuman yang diturunkan Allah, maka mereka itu oang-orang yang kafir.”
Oleh sebab itu, seseorang yang telah diangkat menjadi hakim hendaklah sangat sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman kepada manusia yang bersalah. Jika hal itu terjadi, maka seorang hakim telah melakukan kezaliman yang harus dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT dikemudian hari. Sebab diantara hakim berbeda-beda dalam menjatuhkan hukuman. Ada yang memberikan kebenaran tanpa memperhatikan mana yang salah dan mana yang benar. Dan ada pula yang Sungguh-sungguh mencari kebenaran dalam suatu perkara.
Berdasarkan hal itu hakim terdiri atas tiga bagian, sebagimana yang dinyatakan oleh Nabi sebagai berikut: 




“Nabi SAW bersabda : “ hakim itu ada 3 (tiga): seorang di Surga, dan dua orang di Neraka, yang seorang, ia mengetahui kebenaran dan memutuskan dengan ,kebenaran tersebut (ia layak mendapat surga). Orang mengetahui kebenaran, tapi ia melanggarnya dalam memutuskan hukum. Karena itu ia mendapat neraka. Dan orang dengan kebodohannya , menetapkan hukum untuk manusia (sehingga menjadi salah dalam menetapkannya), maka ia dapat neraka”. (HR. Abu Dawud)
Dengan demikian dapat disimpulkan menurut Nabi hakim terdiri dari:
a.      Hakim yang mengerti akan kebenaran dan menghukum dengan benar (masuk surga)
b.      Hakim yang mengerti akan kekuasaan namun melakukan penindasan (masuk neraka)
c.       Hakim yang menghukum manusia karena ketidaktahuan (masuk neraka)
Oleh karena itu jabatan hakim adalah jabatan yang penuh tanggungjawab yang sangat besar. “Sabda Rasulullah SAW: Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW bersabda beliau: “Barang siapa yang dijadikan hakim di antara manusia maka Sungguh ia telah disembelih dengan tidak memakai pisau.” Oleh sebab itu banyak ulama-ulama yang sadar, tidak mau diangkat menjadi hakim jika sekiranya masih ada orang lain yang patut.
Misalnya Ibnu Umar takut menjadi hakim ketika diminta oleh Utsman bin Affan, imam Abu Hanifah tidak mau menjadi hakim ketika diminta oleh khalifah Al Mansyur, hingga ia dipenjarakan oleh khalifah Al-Makmun. Namun kiranya perlu ditugaskan bahwa menerima jabatan hakim itu fardhu kifayah hukumnya diantara orang-orang yang patut menjadi hakim.

     II.            Syarat Menjadi Hakim
Syarat pengankatan menjadi hakim (Qadhi) ada perbedaan pendapat. Ada yang menyebut 15 syarat, ada yang 7, dan ada yang 3. Akan tetapi walaupun demikian hakikatnya sama. Adapun secara global syarat menjadi hakim ialah sebagai berikut:
a.      Laki-laki
b.      Berakal (cerdas) dan Mumayiz
c.       Islam
d.     Adil
e.      Berpengetahuan
f.        Sehat pendengaran, penglihatan, dan ucapan
g.      Fakih dan Mustahil
h.      Qadhi diangkat oleh penguasa dan hukumnya wajib
Pemerintahan (penguasa) mempunyai hak untuk memecat Qaadhi yang diangkat apabila ada sebab yang menghendakinya, dan tidak dibenarkan tindakan pemecatan tanpa ada sebab.
  III.            Tatacara Peradilan Menjatuhkan Hukuman
Lembaga peradilan menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:
a.      Berdasarkan hasil pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan
b.      Dari kondisi para hakim bahwa mereka telah melakukan pemeriksaan sesuai dengan prosedur yang berlaku
 IV.            Unsur-unsur Peradilan
a.      Hakim
b.      Hukum
c.       Mahkum bihi (suatu hak)
d.     Mahkum lahu (orang yang menang)
e.      Mahkum alaihi (orang yang terhukum)

    V.            Hal Yang Diwajibkan Dan Diharamkan Hakim
a.     Hakim wajib mencari keadilan dalam mengadili manusia
Di tangan hakimlah terletak lepas dan terikatnya manusia yang berperkara, sengsara atau atau selamatnya mereka, oleh karena itu seorang hakim harus bersungguh-sungguh mencari kebenaran agar dapat menghukum dengan seadil-adilnya.
Allah berfirman: “Dan bila kamu menghukum antara manusia, supaya kamu menghukum dengan seadil-adilnya.”
Firman Allah SWT: “Dan ingatlah Daud dan Sulaiman ketika keduanya menghukum perkara tanaman, ketika biri-biri sesuatu kaum telah merusak tanaman itu dan kamilah yang menjadi saksi dalam penghukuman mereka. Lantas kami ajarkanlah hukum itu kepada Sulaiman, dan kepada keduanya kami datangkan Hikmah dan ilmu.”
Salah satu syarat bagi orang yang diangkat menjadi hakim adalah memiliki kemampuan berijtihad dan bersungguh-sungguh mencari hak dengan berpedoman kepada jitab Allah dan Sunnah Nabinya.
Sabda Rosulullah Saw : “Dari Amru bin Ash, dari Nabi Saw bersabda beliau : apabila seorang hakim menghukum, lalu ia berijtihad, maka betul ijtihadnya itu, maka baginya tersedia dua pahala.”
Keterangan lainnya : “Dari haris bin amru, dari sahabat-sahabat Muaz, bahwa Rasulullah saw tatkala , mengutus Muaz ke Negeri Yaman beliau bertanya kepadanya : “Bagaimanakah caranya engkau menghukum (mengadili) ?” Muaz menjawab : “Aku menghukum menurut apa yang ada dalam kitab Allah,” Rasulullah bertanya pula : “Jika tidak ada dalam kitab Allah?” Muaz menjawab, lalu “Dengan Sunnah Rasulullah saw.” Rasulullah bertanya pula : “Jika tidak bertemu dengan Rasulullah ataupun Sunnah Rasulullah?” Ia menjawab : “Aku berijtihad (aku berusaha sedapat-dapatnya) menurut pikiranku.” Rasulullah menjawab : “Alhamdulillah (pujian-pujian bagi Allah) yang telah memberi taufik.”
Dengan demikian nyatalah bahwa hukum yang wajib dilakukan terlebih dahulu adalah menurut yang tertulis dalam Al-qur’an. Jika tidak dapat dalam Al-qur’an dicari dalam hadits, jika tidak ditemukan dalam hadits, dicari Ilat atau persamaannya, inilah yang disebut dengan ijtihad. Jika tidak dapat dalam Al-qur’an tetapi mempunyai ikatan atau persamaan dengan perkara lain atau hukumnya ada dalam Al-qur’an dan hadits, maka hukumnya disamakan inilah yang disebut Qiyas yang melakukan hendaklah yang pandai berijtihad menurut syar’i.

b.     Kesopanan dalam menghukum
Hakim adalah jabatan yang tinggi dan mulai. Oleh sebab itu seorang hakim hendaklah berlaku sopan saat mengadili. Sebab di tangan hakimlah terletak keputusan bebas tidaknya seseorang terdakwah/tersangka, atau penggugat dengan tergugat. Oleh sebab itu dalam mengadili suatu perkara hendaklah dijaga:
Pertama, memeriksa perkara atau memutuskan hukuman ketika dalam keadaan marah, sebab marah timbul dengan hawa nafsu, biasanya membawa kepada kebinasaan dan kezaliman.
Sabda Rasulullah saw : “Dari Abdurahman bin Abu Bakrah r.a berkata ia : bersabda Rasulullah saw : hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman kedua orang yang berperkara ketika ia sedang keadaan marah. Dan jangan sampai menjatuhkan hukuman dalam keadaan :
1)      Sedang marah
2)      Sedang keadaan lapar dan haus
3)      Sedang susah atau sedang gembira
4)      Sedang sakit
5)      Sedang menahan buang air besar
6)      Sedang mengantuk
Sangat panas atau sangat dingin hal ini dikarenakan semua itu dapat mempengaruhi ketenangan pikiran dan dapat pula mengakibatkan ketidak adilan dalam menjatuhkan hukuman.
Kedua, hendaklah menyamakan pertanyaan, tempat duduk dan sebagainya antara dua orang yang berperkara. Dari Abdullah bin Zubair r.a berkata ia : “Rasulullah saw telah menjatuhkan hukuman sedang kedua orang yang berselisih itu duduk di hadapan hakim.”
Ketiga, hendaklah mendengarkan dengan baik keterangan kedua belah pihat secara berganti – ganti.
Sabda Rasulullah saw. Dari Ali r.a berkata ia: bersabda Rasulullah saw : “Apabila semua hukuman bagi orang yang pertama sebelum engkau akan mengetahui cara menghukum mereka. Berkata Ali : senantiasa aku menjadi kadi (menghukum seperti itu) sesudah itu. Digunakan pengadilan itu diadakan ditengah-tengah Negeri atau tengah-tengah daerah pemerintahan. Yaitu di ibu kota, di tempat yang terlihat dan jangan di masjid, sebab masjid adalah tempat beribadat.”

c.      Haram hukumnya seorang hakim dalam menerima uang suap
Seorang hakim haram menerima uang suap ataupun hadiah dari pihak-pihak berperkara, sebab hal itu mempengaruhi perkara yang sedang diadili, yang dapat dimenangkan sedangkan yang benar dapat disalahkan.
“Dari Abu Hurairah r.a berkata ia : telah dikutuki oleh Rasulullah saw akan orang yang memberi suap, atau yang menerimayan dalam perkara hukum. Uang suap dapat membatalkan yang hak dan membenarkan yang batil.”
“Dari Muaz bin Jabal r.a berkata ia : telah di utus aku oleh Rasulullah SAW ke Negeri Yaman, takkala aku telah berangkat diwaktu malam, disuruhnya orang menyusul daku dan disuruhnya aku pulang, maka Rasulullah saw bersabda : janganlah kamu terima sesuatu dengan tidak seizinku, sebab hal yang semacam itu termasuk penipuan dan siapa yang menipu ia akan dihadapkan dengan perbuatannya (penipuan) itu di hari kiamat, karena itulah engkau dipanggil kemari, dan sekarang teruslah engkau berangkat untuk melakukan tugasmu.”
Menurut pengarang Subulussalam, hasil atau keuntungan yang diperoleh hakim ada empat macam, antara lain :
1.      Uang suap yaitu agar hakim memutuskan hukum dengan jalan yang tidak hak. Hukunya haram bagi kedua pijak, baik yang menerima atau yang memberikannya. Namun untuk menghukum dengan jalan yang tidak hak maka hukumnya bagi hakim namun tidak haram atas orang yang memberi.
2.      Hadiah, apabila diberikan oleh orang yang sebelum ia menjadi hakim maka tidak haram hukumnya, namun apabila diberikan setelah ia menjadi hakim maka haram hukumnya.
3.      Upah. Bila hakim menerima upah dari baitul mal atau dari pemerintah maka hukumnya haram. Jika tidak ada gaji, boleh baginya mengambil upah sesuai dengan pekerjaanya.
4.      Rezeki, pensiunan dari jabatannya hakim yang diangkat untuk suatu daerah dalam Negara Islam, dapat pensiunan (berhenti) dari jabatannya karena :
·         Telah sampai kepadanya kabar tentang pemberhentiannya walaupun orang yang dapat di percaya begitu juga wakilnya.
·         Dia sendiri yang ingin meninggalkan jabatan itu.
·         Rusak pikiran, gila, mabuk, pitam dan sebagainya.
·         Fisik (kafir), yang tidak diketahui sejak ia diangkat atau datangnya sesudah diangkat.

 VI.            Hadits-Hadits Nabi Tentang Hakim

1. Hakim terdiri dari tiga golongan. Dua golongan hakim masuk neraka dan segolongan hakim lagi masuk surga. Yang masuk surga ialah yang mengetahui kebenaran hukum dan mengadili dengan hukum tersebut. Bila seorang hakim mengetahui yang haq tapi tidak mengadili dengan hukum tersebut, bahkan bertindak zalim dalam memutuskan perkara, maka dia masuk neraka. Yang segolongan lagi hakim yang bodoh, yang tidak mengetahui yang haq dan memutuskan perkara berdasarkan kebodohannya, maka dia juga masuk neraka. (HR. Abu Dawud dan Ath-Thahawi)
2. Lidah seorang hakim berada di antara dua bara api sehingga dia menuju surga atau neraka. (HR. Abu Na'im dan Ad-Dailami)
3. Barangsiapa diangkat menjadi hakim maka dia telah disembelih tanpa menggunakan pisau. (HR. Abu Dawud)
4. Allah beserta seorang hakim selama dia tidak menzalimi. Bila dia berbuat zalim maka Allah akan menjauhinya dan setanlah yang selalu mendampinginya. (HR. Tirmidzi)
5. Bila seorang hakim mengupayakan hukum (dengan jujur) dan keputusannya benar, maka dia akan memperoleh dua pahala. Tetapi bila keputusannya salah maka dia akan memperoleh satu pahala. (HR. Bukhari)
6. Janganlah hendaknya seorang wanita menjadi hakim yang mengadili urusan masyarakat umum. (HR. Ad-Dailami)
7. Salah satu dosa paling besar ialah kesaksian palsu. (HR. Bukhari)
8. Rasulullah Saw bersabda : "Disejajarkan kesaksian palsu dengan bersyirik kepada Allah." Beliau mengulang-ulang sabdanya itu sampai tiga kali. (Mashabih Assunnah)
9. Nabi Saw mengadili dengan sumpah dan saksi. (HR. Muslim)
10. Maukah aku beritahukan saksi yang paling baik? Yaitu yang datang memberi kesaksian sebelum dimintai kesaksiannya. (HR. Muslim)
11. Pria paling dibenci Allah ialah orang yang bermusuhan dengan sengit. (HR. Bukhari)
12. Janganlah hendaknya seorang hakim mengadili antara dua orang dalam keadaan marah. (HR. Muslim)
13. Tidak halal darah (dihukum mati) seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga sebab. Pertama, duda atau janda yang berzina (juga suami atau isteri). Kedua, hukuman pembalasan karena menghilangkan nyawa orang lain (Qishas), dan ketiga, yang murtad dari Islam dan meninggalkan jama'ah. (HR. Bukhari)
14. Rasulullah Saw pernah memenjarakan seseorang karena suatu tuduhan kemudian dibebaskannya. (HR. An-Nasaa'i)
15. Sesungguhnya aku mengadili dan memutuskan perkara antara kalian dengan bukti-bukti dan sumpah-sumpah. Sebagian kamu lebih pandai mengemukakan alasan dari yang lain. Siapapun yang aku putuskan memperoleh harta sengketa yang ternyata milik orang lain (saudaranya), sesungguhnya aku putuskan baginya potongan api neraka. (HR. Aththusi)
16. Seorang wanita di jaman Rasulullah Saw sesudah fathu Mekah telah mencuri. Lalu Rasulullah memerintahkan agar tangan wanita itu dipotong. Usamah bin Zaid menemui Rasulullah untuk meminta keringanan hukuman bagi wanita tersebut. Mendengar penuturan Usamah, wajah Rasulullah langsung berubah. Beliau lalu bersabda : "Apakah kamu akan minta pertolongan (mensyafa'ati) untuk melanggar hukum-hukum Allah Azza Wajalla?" Usamah lalu menjawab, "Mohonkan ampunan Allah untukku, ya Rasulullah." Pada sore harinya Nabi Saw berkhotbah setelah terlebih dulu memuji dan bersyukur kepada Allah. Inilah sabdanya : "Amma ba'du. Orang-orang sebelum kamu telah binasa disebabkan bila seorang bangsawan mencuri dibiarkan (tanpa hukuman), tetapi jika yang mencuri seorang awam (lemah) maka dia ditindak dengan hukuman. Demi yang jiwaku dalam genggamanNya. Apabila Fatimah binti Muhammad mencuri maka aku pun akan memotong tangannya." Setelah bersabda begitu beliau pun kembali menyuruh memotong tangan wanita yang mencuri itu. (HR. Bukhari)
17. Bila dua orang yang bersengketa menghadap kamu, janganlah kamu berbicara sampai kamu mendengarkan seluruh keterangan dari orang kedua sebagaimana kamu mendengarkan keterangan dari orang pertama. (HR. Ahmad)
18. Kami bersama Rasulullah Saw dalam suatu majelis. Rasulullah bersabda: "Berbai'atlah kamu untuk tidak syirik kepada Allah dengan sesuatu apapun, tidak berzina, tidak mencuri, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan (alasan) yang benar. Barangsiapa menepatinya maka baginya pahala di sisi Allah dan barangsiapa yang melanggar sesuatu dari perkara-perkara itu maka dia dihukum dan itulah tebusannya (kafarat). Namun barangsiapa yang melanggar perkara-perkara itu dan dirahasiakan oleh Allah maka persoalannya adalah di tangan Allah. Bila Dia menghendaki maka akan diampuniNya atau disiksaNya (di akhirat)." (HR. Muslim)
19. Hindarkanlah tindakan hukuman terhadap seorang muslim sedapat mungkin karena sesungguhnya lebih baik bagi penguasa bertindak salah karena membebaskannya daripada salah karena menjatuhkan hukuman. (HR. Tirmidzi dan Al-Baihaqi)
20. Barangsiapa menjauhi kehidupannya sebagai badui maka dia mengisolir dirinya, dan barangsiapa yang mengikuti perburuan maka dia akan lengah dan lalai. Barangsiapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa maka dia akan terkena fitnah. Ketahuilah, seorang yang makin mendekatkan dirinya kepada penguasa akan bertambah jauh dari Allah. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

iii.            Kesimpulan

Hakim adalah seseorang yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur menurut undang-undang, seseorang yang memutuskan suatu perkara secara adil berdasarkan bukti-bukti dan keyakinan yang ada pada dirinya sendiri. Seorang hakim harus memiliki kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum, agar tidak keliru dalam memutuskan suatu perkara.
Berdasarkan hukum Islam seorang hakim dapat mengundurkan diri dari persidangan apabila memiliki kepentingan atau terikat dengan keluarga sedarah atau semanda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai, dengan ketua salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera, hal ini di maksudkan untuk menjaga kemurnian dan independensi peradilan agar seorang hakim memutuskan suatu perkara tidak secara subjektif yang di sebabkan oleh hubungan keluarga dan lain sebagainya sebagaimana tersebut di atas karena dikhawatirkan seorang hakim tidak dapat bertindak adil terhadap pihak-pihak yang menjadi keluarganya itu.
Jadi hukum melarang seorang hakim untuk menangani perkara yang melibatkan orang-orang terdekatnya untuk menjaga kemandirian putusan yang dikeluarkannya. Dalam pasal 28 ayat 1 undang-undang pokok kehakiman, hakim diwajibkan untuk memperhatikan nilai-nilai hukum pada yang ada pada masyarakat dalam memberikan putusan, hal ini dikarenakan setiap masyarakat dalam memberikan putusan, hal ini dikarenakan masyarakat memiliki pandangan yang berbeda terhadap sesuatu yang dianggap salah, menyalahi aturan, atau menyimpang.
Dalam Islam seseorang yang memutuskan perkara di pengadilan di sebut qadhi (hakim). Pada masa Rasulullah saw masih hidup yang menjadi hakim dan yang menjadi jaksa penuntut umum adalah Rasulullah saw sendiri dan hukum yang hendak dijatuhkan wajib menurut hukum yang diturunkan Allah swt. Menurut Nabi hakim terdiri dari :
ü  Hakim yang mengerti akan kebenaran dan menghukum dengan benar (masuk surga)
ü  Hakim yang mengerti akan kekuasaan namun melakukan penindasan (masuk neraka)
ü  Hakim yang menghukum manusia karena ketidaktahuan (masuk neraka)
Satu syarat yang diangkat menjadi hakim adalah memiliki kemampuan berijtihad dan bersungguh-sungguh mencari hak dengan berpedoman kepada kitab Allah dan Sunnah Nabinya. Hukum yang wajib dilakukan terlebih dahulu adalah menurut yang tertulis dalam Al-qur’an. Jika tidak terdapat dalam Al-qur’an barulah dari dalam hadits, jika tidak ditemukan dalam hadits, di cari Ilat dan persamaannya, inilah yang disebut dengan ijtihad. Jika tidak terdapat dalam Al-qur’an tetapi mempunyai ikatan atau persamaan dengan perkara lain yang hukumnya ada dalam Al-Qur'an dan hadits, maka hukumnya disamakan inilah yang disebut dengan qiyas yang melakukan hendaklah yang pandai berijtihad menurut syar’i.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar