i.
PENDAHULUAN
Hakim adalah seseorang yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang diatur menurut undang-undang, seseorang yang memutus suatu
perkara secara adil berdasar atas bukti-bukti dan keyakinan yang ada pada
dirinya sendiri. Dalam melakukan kekuasaan kehakiman hakim dihadapkan dengan
berbagai hal yang dapat mempengaruhi putusannya nanti. Dengan demikian jabatan
hakim ini menjadi sangat penting karena memutus suatu perkara bukanlah hal
mudah. Ia harus sangat berhati-hati menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah
sebab yang bersalah kadang-kadang dibenarkan. Sedang yang benar terkadang
disalahkan.
Seorang hakim menjadi sangat rentan akan berbagai
penyimpangan akan berbagai penyimpangan baik yang dilakukan secara sengaja
misalnya memutus seseorang yang bersalah kemudian dibenarkan hanya karena
memberikan uang kepada hakim tersebut ataupun yang dilakukannya secara tidak
sengaja misalnya memutus seseorang yang tidak bersalah karena bukti-bukti yang
menunjukan demikian.
Segala sesuatunya akan dipertanggung jawabkan dihadapan
Allah SWT. Oleh sebab itu jabatan hakim mendapat perhatian khusus, antara lain
dalam hukum positif terlihat dengan adanya undang-undang pokok kehakiman yang
secara khusus mengatur tata cara peradilan termasuk jabatan hakim. Tak hanya
dalam hukum positif dalam hukum Islam pun jabatan hakim mendapat perhatian
khusus dengan ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang jabatan hakim ini
bahkan jauh sebelum hukum positif mengaturnya.
ii.
PEMBAHASAN
I.
Pengertian Hakim
Hakim adalah orang yang diangkat oleh penguassa untuk
mengadili perkara diantara manusia menurut ketentuan perundang-undangan yang
berlaku yang bersumber dari hukum Islam. Pengangkatan hakim oleh penguasa,
karena penguasa tidak mampu melaksanakan lembaga peradilan sendiri. Kata hakim
dikatakan Qadhi sebagai orang yang memutuskan, mengakhiri atau menyelesaikan
perkara.
Pada masa Rasulullah SAW yang menjadi
hakim dan jaksa penuntut umum adalah Rasulullah sendiri dan hukum yang hendak
dijatuhkan wajib menurut hukum yang diturunkan Allah SWT. Dalam firman-Nya
dalam surat An-Nissa ayat 105, yang berbunyi :
خَصِيمًا
لِلْخَائِنِينَ تَكُنْ وَلَا ۚاللَّهُ أَرَاكَ
بِمَا النَّاسِ
بَيْنَ لِتَحْكُمَ بِالْحَقِّ
الْكِتَابَ إِلَيْكَ أَنْزَلْنَا
إِنَّا
Artinya
: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan
kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi
penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang
khianat.” (Q.S. An-Nisa’ : 105)
Dalam ayat lain Allah berfirman pula: “Dan barang siapa yang tidak menghukum
dengan hukuman yang diturunkan Allah, maka mereka itu oang-orang yang kafir.”
Oleh sebab itu, seseorang yang telah
diangkat menjadi hakim hendaklah sangat sangat berhati-hati dalam menjatuhkan
hukuman kepada manusia yang bersalah. Jika hal itu terjadi, maka seorang hakim
telah melakukan kezaliman yang harus dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT
dikemudian hari. Sebab diantara hakim berbeda-beda dalam menjatuhkan hukuman.
Ada yang memberikan kebenaran tanpa memperhatikan mana yang salah dan mana yang
benar. Dan ada pula yang Sungguh-sungguh mencari kebenaran dalam suatu perkara.
Berdasarkan hal itu hakim terdiri atas
tiga bagian, sebagimana yang dinyatakan oleh Nabi sebagai berikut:
“Nabi SAW bersabda : “ hakim itu ada 3 (tiga): seorang
di Surga, dan dua orang di Neraka, yang seorang, ia mengetahui kebenaran dan
memutuskan dengan ,kebenaran tersebut (ia layak mendapat surga). Orang
mengetahui kebenaran, tapi ia melanggarnya dalam memutuskan hukum. Karena itu
ia mendapat neraka. Dan orang dengan kebodohannya , menetapkan hukum untuk
manusia (sehingga menjadi salah dalam menetapkannya), maka ia dapat neraka”.
(HR. Abu Dawud)
Dengan demikian dapat disimpulkan menurut Nabi hakim terdiri
dari:
a.
Hakim
yang mengerti akan kebenaran dan menghukum dengan benar (masuk surga)
b.
Hakim
yang mengerti akan kekuasaan namun melakukan penindasan (masuk neraka)
c.
Hakim
yang menghukum manusia karena ketidaktahuan (masuk neraka)
Oleh karena itu jabatan hakim adalah jabatan yang
penuh tanggungjawab yang sangat besar. “Sabda
Rasulullah SAW: Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW bersabda beliau: “Barang siapa yang dijadikan hakim di
antara manusia maka Sungguh ia telah disembelih dengan tidak memakai pisau.”
Oleh sebab itu banyak ulama-ulama yang sadar, tidak mau diangkat menjadi hakim
jika sekiranya masih ada orang lain yang patut.
Misalnya Ibnu Umar takut menjadi hakim ketika diminta
oleh Utsman bin Affan, imam Abu Hanifah tidak mau menjadi hakim ketika diminta
oleh khalifah Al Mansyur, hingga ia dipenjarakan oleh khalifah Al-Makmun. Namun
kiranya perlu ditugaskan bahwa menerima jabatan hakim itu fardhu kifayah
hukumnya diantara orang-orang yang patut menjadi hakim.
II.
Syarat Menjadi Hakim
Syarat pengankatan menjadi hakim (Qadhi) ada perbedaan
pendapat. Ada yang menyebut 15 syarat, ada yang 7, dan ada yang 3. Akan tetapi
walaupun demikian hakikatnya sama. Adapun secara global syarat menjadi hakim
ialah sebagai berikut:
a.
Laki-laki
b.
Berakal
(cerdas) dan Mumayiz
c.
Islam
d.
Adil
e.
Berpengetahuan
f.
Sehat
pendengaran, penglihatan, dan ucapan
g.
Fakih
dan Mustahil
h.
Qadhi
diangkat oleh penguasa dan hukumnya wajib
Pemerintahan (penguasa) mempunyai hak untuk memecat
Qaadhi yang diangkat apabila ada sebab yang menghendakinya, dan tidak
dibenarkan tindakan pemecatan tanpa ada sebab.
III.
Tatacara Peradilan
Menjatuhkan Hukuman
Lembaga peradilan menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa
berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:
a.
Berdasarkan
hasil pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan
b. Dari kondisi para hakim
bahwa mereka telah melakukan pemeriksaan sesuai dengan prosedur yang berlaku
IV.
Unsur-unsur Peradilan
a.
Hakim
b.
Hukum
c.
Mahkum
bihi (suatu hak)
d.
Mahkum
lahu (orang yang menang)
e.
Mahkum
alaihi (orang yang terhukum)
V.
Hal Yang Diwajibkan Dan
Diharamkan Hakim
a.
Hakim wajib mencari keadilan dalam mengadili manusia
Di tangan hakimlah terletak lepas dan
terikatnya manusia yang berperkara, sengsara atau atau selamatnya mereka, oleh
karena itu seorang hakim harus bersungguh-sungguh mencari kebenaran agar dapat
menghukum dengan seadil-adilnya.
Allah berfirman: “Dan bila kamu menghukum antara manusia, supaya kamu menghukum dengan
seadil-adilnya.”
Firman Allah SWT: “Dan ingatlah Daud dan Sulaiman ketika keduanya menghukum perkara
tanaman, ketika biri-biri sesuatu kaum telah merusak tanaman itu dan kamilah
yang menjadi saksi dalam penghukuman mereka. Lantas kami ajarkanlah hukum itu
kepada Sulaiman, dan kepada keduanya kami datangkan Hikmah dan ilmu.”
Salah satu syarat bagi orang yang diangkat
menjadi hakim adalah memiliki kemampuan berijtihad dan bersungguh-sungguh
mencari hak dengan berpedoman kepada jitab Allah dan Sunnah Nabinya.
Sabda Rosulullah Saw : “Dari Amru bin Ash, dari Nabi Saw bersabda beliau : apabila seorang
hakim menghukum, lalu ia berijtihad, maka betul ijtihadnya itu, maka baginya
tersedia dua pahala.”
Keterangan lainnya : “Dari haris bin amru, dari
sahabat-sahabat Muaz, bahwa Rasulullah saw tatkala , mengutus Muaz ke Negeri
Yaman beliau bertanya kepadanya : “Bagaimanakah
caranya engkau menghukum (mengadili) ?” Muaz menjawab : “Aku menghukum menurut apa yang ada dalam
kitab Allah,” Rasulullah bertanya pula : “Jika tidak ada dalam kitab Allah?” Muaz menjawab, lalu “Dengan Sunnah Rasulullah saw.”
Rasulullah bertanya pula : “Jika tidak
bertemu dengan Rasulullah ataupun Sunnah Rasulullah?” Ia menjawab : “Aku berijtihad (aku berusaha
sedapat-dapatnya) menurut pikiranku.” Rasulullah menjawab : “Alhamdulillah (pujian-pujian bagi Allah)
yang telah memberi taufik.”
Dengan demikian nyatalah bahwa hukum yang wajib
dilakukan terlebih dahulu adalah menurut yang tertulis dalam Al-qur’an. Jika
tidak dapat dalam Al-qur’an dicari dalam hadits, jika tidak ditemukan dalam
hadits, dicari Ilat atau persamaannya, inilah yang disebut dengan ijtihad.
Jika tidak dapat dalam Al-qur’an tetapi mempunyai ikatan atau persamaan dengan
perkara lain atau hukumnya ada dalam Al-qur’an dan hadits, maka hukumnya
disamakan inilah yang disebut Qiyas yang melakukan hendaklah yang pandai
berijtihad menurut syar’i.
b. Kesopanan dalam menghukum
Hakim adalah jabatan yang tinggi dan mulai. Oleh sebab
itu seorang hakim hendaklah berlaku sopan saat mengadili. Sebab di tangan
hakimlah terletak keputusan bebas tidaknya seseorang terdakwah/tersangka, atau
penggugat dengan tergugat. Oleh sebab itu dalam mengadili suatu perkara
hendaklah dijaga:
Pertama,
memeriksa perkara atau memutuskan hukuman ketika dalam keadaan marah, sebab
marah timbul dengan hawa nafsu, biasanya membawa kepada kebinasaan dan
kezaliman.
Sabda Rasulullah saw : “Dari Abdurahman bin Abu Bakrah r.a berkata ia : bersabda Rasulullah
saw : hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman kedua orang yang berperkara ketika
ia sedang keadaan marah. Dan jangan
sampai menjatuhkan hukuman dalam keadaan :
1) Sedang
marah
2) Sedang
keadaan lapar dan haus
3) Sedang
susah atau sedang gembira
4) Sedang
sakit
5) Sedang
menahan buang air besar
6) Sedang
mengantuk
Sangat panas atau sangat dingin hal ini
dikarenakan semua itu dapat mempengaruhi ketenangan pikiran dan dapat pula
mengakibatkan ketidak adilan dalam menjatuhkan hukuman.”
Kedua, hendaklah menyamakan pertanyaan, tempat
duduk dan sebagainya antara dua orang yang berperkara. Dari Abdullah bin Zubair r.a berkata ia : “Rasulullah saw telah
menjatuhkan hukuman sedang kedua orang yang berselisih itu duduk di hadapan
hakim.”
Ketiga,
hendaklah mendengarkan dengan baik keterangan kedua belah pihat secara berganti
– ganti.
Sabda Rasulullah saw. Dari Ali r.a berkata ia:
bersabda Rasulullah saw : “Apabila semua
hukuman bagi orang yang pertama sebelum engkau akan mengetahui cara menghukum
mereka. Berkata Ali : senantiasa aku menjadi kadi (menghukum seperti itu)
sesudah itu. Digunakan pengadilan itu diadakan ditengah-tengah Negeri atau
tengah-tengah daerah pemerintahan. Yaitu di ibu kota, di tempat yang terlihat
dan jangan di masjid, sebab masjid adalah tempat beribadat.”
c.
Haram hukumnya seorang hakim dalam menerima uang suap
Seorang hakim haram menerima uang suap ataupun hadiah
dari pihak-pihak berperkara, sebab hal itu mempengaruhi perkara yang sedang
diadili, yang dapat dimenangkan sedangkan yang benar dapat disalahkan.
“Dari Abu Hurairah r.a berkata ia : telah dikutuki oleh Rasulullah saw akan
orang yang memberi suap, atau yang menerimayan dalam perkara hukum. Uang suap
dapat membatalkan yang hak dan membenarkan yang batil.”
“Dari Muaz bin Jabal r.a berkata ia : telah di utus aku oleh Rasulullah SAW ke
Negeri Yaman, takkala aku telah berangkat diwaktu malam, disuruhnya orang
menyusul daku dan disuruhnya aku pulang, maka Rasulullah saw bersabda :
janganlah kamu terima sesuatu dengan tidak seizinku, sebab hal yang semacam itu
termasuk penipuan dan siapa yang menipu ia akan dihadapkan dengan perbuatannya
(penipuan) itu di hari kiamat, karena itulah engkau dipanggil kemari, dan
sekarang teruslah engkau berangkat untuk melakukan tugasmu.”
Menurut pengarang Subulussalam, hasil atau keuntungan
yang diperoleh hakim ada empat macam, antara lain :
1.
Uang suap yaitu agar hakim memutuskan hukum dengan jalan yang
tidak hak. Hukunya haram bagi kedua pijak, baik yang menerima atau yang
memberikannya. Namun untuk menghukum dengan jalan yang tidak hak maka hukumnya
bagi hakim namun tidak haram atas orang yang memberi.
2.
Hadiah, apabila diberikan oleh orang yang sebelum ia menjadi
hakim maka tidak haram hukumnya, namun apabila diberikan setelah ia menjadi
hakim maka haram hukumnya.
3.
Upah. Bila hakim menerima upah dari baitul mal atau dari
pemerintah maka hukumnya haram. Jika tidak ada gaji, boleh baginya mengambil
upah sesuai dengan pekerjaanya.
4.
Rezeki, pensiunan dari jabatannya hakim yang diangkat untuk
suatu daerah dalam Negara Islam, dapat pensiunan (berhenti) dari jabatannya
karena :
·
Telah sampai kepadanya kabar tentang pemberhentiannya
walaupun orang yang dapat di percaya begitu juga wakilnya.
·
Dia
sendiri yang ingin meninggalkan jabatan itu.
·
Rusak
pikiran, gila, mabuk, pitam dan sebagainya.
·
Fisik
(kafir), yang tidak diketahui sejak ia diangkat atau datangnya sesudah
diangkat.
VI.
Hadits-Hadits Nabi Tentang Hakim
1.
Hakim terdiri dari tiga golongan. Dua
golongan hakim masuk neraka dan segolongan hakim lagi masuk surga. Yang masuk
surga ialah yang mengetahui kebenaran hukum dan mengadili dengan hukum
tersebut. Bila seorang hakim mengetahui yang haq tapi tidak mengadili dengan
hukum tersebut, bahkan bertindak zalim dalam memutuskan perkara, maka dia masuk
neraka. Yang segolongan lagi hakim yang bodoh, yang tidak mengetahui yang haq
dan memutuskan perkara berdasarkan kebodohannya, maka dia juga masuk neraka. (HR.
Abu Dawud dan Ath-Thahawi)
2.
Lidah seorang hakim berada di antara dua
bara api sehingga dia menuju surga atau neraka. (HR. Abu Na'im dan
Ad-Dailami)
3.
Barangsiapa diangkat menjadi hakim maka
dia telah disembelih tanpa menggunakan pisau. (HR. Abu Dawud)
4.
Allah beserta seorang hakim selama dia
tidak menzalimi. Bila dia berbuat zalim maka Allah akan menjauhinya dan
setanlah yang selalu mendampinginya. (HR. Tirmidzi)
5.
Bila seorang hakim mengupayakan hukum
(dengan jujur) dan keputusannya benar, maka dia akan memperoleh dua pahala.
Tetapi bila keputusannya salah maka dia akan memperoleh satu pahala. (HR.
Bukhari)
6.
Janganlah hendaknya seorang wanita
menjadi hakim yang mengadili urusan masyarakat umum. (HR. Ad-Dailami)
7.
Salah satu dosa paling besar ialah
kesaksian palsu. (HR. Bukhari)
8.
Rasulullah Saw bersabda :
"Disejajarkan kesaksian palsu dengan bersyirik kepada Allah." Beliau
mengulang-ulang sabdanya itu sampai tiga kali. (Mashabih Assunnah)
9.
Nabi Saw mengadili dengan sumpah dan
saksi. (HR. Muslim)
10.
Maukah aku beritahukan saksi yang paling
baik? Yaitu yang datang memberi kesaksian sebelum dimintai kesaksiannya.
(HR. Muslim)
11.
Pria paling dibenci Allah ialah orang
yang bermusuhan dengan sengit. (HR. Bukhari)
12.
Janganlah hendaknya seorang hakim
mengadili antara dua orang dalam keadaan marah. (HR. Muslim)
13.
Tidak halal darah (dihukum mati) seorang
muslim kecuali karena salah satu dari tiga sebab. Pertama, duda atau janda yang berzina (juga suami atau isteri). Kedua, hukuman pembalasan karena
menghilangkan nyawa orang lain (Qishas), dan ketiga, yang murtad dari Islam dan meninggalkan jama'ah. (HR.
Bukhari)
14.
Rasulullah Saw pernah memenjarakan
seseorang karena suatu tuduhan kemudian dibebaskannya. (HR. An-Nasaa'i)
15.
Sesungguhnya aku mengadili dan memutuskan
perkara antara kalian dengan bukti-bukti dan sumpah-sumpah. Sebagian kamu lebih
pandai mengemukakan alasan dari yang lain. Siapapun yang aku putuskan
memperoleh harta sengketa yang ternyata milik orang lain (saudaranya),
sesungguhnya aku putuskan baginya potongan api neraka. (HR. Aththusi)
16.
Seorang wanita di jaman Rasulullah Saw sesudah fathu Mekah telah mencuri. Lalu
Rasulullah memerintahkan agar tangan wanita itu dipotong. Usamah bin Zaid
menemui Rasulullah untuk meminta keringanan hukuman bagi wanita tersebut.
Mendengar penuturan Usamah, wajah Rasulullah langsung berubah. Beliau lalu
bersabda : "Apakah kamu akan minta
pertolongan (mensyafa'ati) untuk melanggar hukum-hukum Allah Azza
Wajalla?" Usamah lalu menjawab, "Mohonkan
ampunan Allah untukku, ya Rasulullah." Pada sore harinya Nabi Saw
berkhotbah setelah terlebih dulu memuji dan bersyukur kepada Allah. Inilah
sabdanya : "Amma ba'du. Orang-orang
sebelum kamu telah binasa disebabkan bila seorang bangsawan mencuri dibiarkan
(tanpa hukuman), tetapi jika yang mencuri seorang awam (lemah) maka dia
ditindak dengan hukuman. Demi yang jiwaku dalam genggamanNya. Apabila Fatimah
binti Muhammad mencuri maka aku pun akan memotong tangannya." Setelah
bersabda begitu beliau pun kembali menyuruh memotong tangan wanita yang mencuri
itu. (HR. Bukhari)
17.
Bila dua orang yang bersengketa menghadap
kamu, janganlah kamu berbicara sampai kamu mendengarkan seluruh keterangan dari
orang kedua sebagaimana kamu mendengarkan keterangan dari orang pertama.
(HR. Ahmad)
18.
Kami bersama Rasulullah Saw dalam suatu majelis. Rasulullah bersabda: "Berbai'atlah kamu untuk tidak syirik
kepada Allah dengan sesuatu apapun, tidak berzina, tidak mencuri, dan tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan (alasan) yang
benar. Barangsiapa menepatinya maka baginya pahala di sisi Allah dan
barangsiapa yang melanggar sesuatu dari perkara-perkara itu maka dia dihukum
dan itulah tebusannya (kafarat). Namun barangsiapa yang melanggar
perkara-perkara itu dan dirahasiakan oleh Allah maka persoalannya adalah di
tangan Allah. Bila Dia menghendaki maka akan diampuniNya atau disiksaNya (di
akhirat)." (HR. Muslim)
19.
Hindarkanlah tindakan hukuman terhadap
seorang muslim sedapat mungkin karena sesungguhnya lebih baik bagi penguasa
bertindak salah karena membebaskannya daripada salah karena menjatuhkan
hukuman. (HR. Tirmidzi dan Al-Baihaqi)
20.
Barangsiapa menjauhi kehidupannya sebagai
badui maka dia mengisolir dirinya, dan barangsiapa yang mengikuti perburuan
maka dia akan lengah dan lalai. Barangsiapa yang mendatangi pintu-pintu
penguasa maka dia akan terkena fitnah. Ketahuilah, seorang yang makin
mendekatkan dirinya kepada penguasa akan bertambah jauh dari Allah. (HR.
Abu Dawud dan Ahmad)
iii.
Kesimpulan
Hakim adalah seseorang yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang diatur menurut undang-undang, seseorang yang memutuskan suatu
perkara secara adil berdasarkan bukti-bukti dan keyakinan yang ada pada dirinya
sendiri. Seorang hakim harus memiliki kepribadian yang tidak tercela, jujur,
adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum, agar tidak keliru dalam
memutuskan suatu perkara.
Berdasarkan hukum Islam seorang hakim dapat
mengundurkan diri dari persidangan apabila memiliki kepentingan atau terikat
dengan keluarga sedarah atau semanda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami
istri meskipun telah bercerai, dengan ketua salah seorang hakim anggota, jaksa,
advokat, atau panitera, hal ini di maksudkan untuk menjaga kemurnian dan
independensi peradilan agar seorang hakim memutuskan suatu perkara tidak secara
subjektif yang di sebabkan oleh hubungan keluarga dan lain sebagainya sebagaimana
tersebut di atas karena dikhawatirkan seorang hakim tidak dapat bertindak adil
terhadap pihak-pihak yang menjadi keluarganya itu.
Jadi hukum melarang seorang hakim untuk menangani
perkara yang melibatkan orang-orang terdekatnya untuk menjaga kemandirian
putusan yang dikeluarkannya. Dalam pasal 28 ayat 1 undang-undang pokok
kehakiman, hakim diwajibkan untuk memperhatikan nilai-nilai hukum pada yang ada
pada masyarakat dalam memberikan putusan, hal ini dikarenakan setiap masyarakat
dalam memberikan putusan, hal ini dikarenakan masyarakat memiliki pandangan
yang berbeda terhadap sesuatu yang dianggap salah, menyalahi aturan, atau
menyimpang.
Dalam Islam seseorang yang memutuskan perkara di
pengadilan di sebut qadhi (hakim). Pada masa Rasulullah saw masih hidup yang
menjadi hakim dan yang menjadi jaksa penuntut umum adalah Rasulullah saw
sendiri dan hukum yang hendak dijatuhkan wajib menurut hukum yang diturunkan
Allah swt. Menurut Nabi hakim terdiri dari :
ü Hakim yang mengerti akan kebenaran dan
menghukum dengan benar (masuk surga)
ü Hakim yang mengerti akan kekuasaan namun
melakukan penindasan (masuk neraka)
ü Hakim yang menghukum manusia karena
ketidaktahuan (masuk neraka)
Satu syarat yang diangkat menjadi hakim
adalah memiliki kemampuan berijtihad dan bersungguh-sungguh mencari hak dengan
berpedoman kepada kitab Allah dan Sunnah Nabinya. Hukum yang wajib dilakukan
terlebih dahulu adalah menurut yang tertulis dalam Al-qur’an. Jika tidak
terdapat dalam Al-qur’an barulah dari dalam hadits, jika tidak ditemukan dalam
hadits, di cari Ilat dan persamaannya, inilah yang disebut dengan ijtihad. Jika
tidak terdapat dalam Al-qur’an tetapi mempunyai ikatan atau persamaan dengan
perkara lain yang hukumnya ada dalam Al-Qur'an dan hadits, maka hukumnya
disamakan inilah yang disebut dengan qiyas yang melakukan hendaklah yang pandai
berijtihad menurut syar’i.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar