Powered By Blogger

Selasa, 03 Januari 2017

PERJUANGAN BANI ABBASIYAH DAN RUNTUHNYA BANI UMAYYAH



BAB I
PENDAHULUAN
       I.            Latar Belakang
Penindasan yang dilakukan oleh bani Umayyah kepada Bani Hasyim dan Bani Abbas, menimbulkan semangat bagi mereka untuk bebas dari kekuasaan Bani Umayyah. Perjuangan yang dilakukan oleh turunan Bani Hasyim dan Bani Abbas ini dilakukan dalam 2 fase, fase sangat rahasia dan fase terang-terangan.
Fase sangat rahasia dilaksanakan selama Muhammad ibn Ali al-Abbasi masih hidup. Untuk mendapatkan dukungan, kelompok ini melakukan propaganda yang dikirim ke seluruh pelosok negara. Pusat kegiatan dilakukan di kota Hamimah, Kuffah dan Khurasan. Gerakan ini mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan-golongan yang pada mulanya mendukung daulat Amawiyah.
Setelah Imam Muhammad meninggal (126 H) dan diganti oleh anaknya, Ibrahim, terdapat pemuda Persia yaitu Abu Muslim al-Khurasani yang bergabung dalam gerakan ini. Sejak masuknya Abu Muslim, maka gerakan ini dilakukan secara terang-terangan, kemudian cara pertempuran dan akhirnya bulan Dzulhijjah tahun 132 H. Terbunuhnya khalifah daulat Ummayyah yang terakhir yaitu Marwan di Fusfat Mesir dan dengan resmi berdirilah daulat Abbasiyah.
Untuk mengetahui lebih luas, bagaimana daulat Abbasiyah dapat menumbangkan pemerintahan Bani Umayyah dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan runtuhnya daulat Umayyah, maka dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai pembahasan tersebut.
    II.            Rumusan Makalah
A.    Bagaimana perjuangan Bani Abbasiyah dalam menggulingkan pemerintahan Bani Umayyah?
B.     Apa faktor-faktor penyebab runtuhnya Bani Umayyah?
 III.            Tujuan Penulisan Makalah
A.    Untuk mengetahui perjuangan Bani Abbasiyah dalam menggulingkan pemerintahan Bani Umayyah.
B.     Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab runtuhnya Bani Umayyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Perjuangan Bani Abbasiyah
Bani Abbas—sebuah kabilah yang selain dekat dengan kerabat Muhammad SAW., juga mempunyai hubungan kedekatan dengan para pendiri pemerintahan Islam sebelumnya. Kabilah ini mengklaim bahwa mereka mampu menciptakan pemerintahan Islam yang stabil dan memberikan keadilan yang merata kepada umat Islam yang sebelumnya telang mengalamu kegagalan disebabkan oleh konflik agama, politik, sosial dan ekonomi. Maka diperlukan kekuasaan yang solid yang mampu mengembalikan budaya dan peradaban model baru—dari yang Arab sentris ke model peradaban yang lebih akomodatif, egaliter dan bersahaja didasarkan homogenitas umat Islam, baik Arab maupun non-Arab.[1]
Sebelum berdirinya Dinasti Abbasiyah, terdapat 3 poros utama yang merupakan pusat kegiatan, antara satu dengan yang lain memiliki kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman Rasulullah SAW, Abbas bin Abdul Muthalib. Dari nama Al-Abbas paman Rasulullah inilah nama ini disandarkan pada tiga tempat kursi kegiatan, yaitu Humaimah, Kuffah dan Khurasan.
Humaimah merupakan tempat yang tenteram, bermukim dikota itu keluarga Bani Hasyim, baik dari kalangan penduduk Ali maupun pendukung Keluarga Abbas. Kuffah merupakan wilayang penduduknya menganut aliran Syi’ah, pendukung Ali bin Abi Thalib, yang selalu bergolak dan ditindas oleh Bani Umayyah. Khurasan memiliki warga yang pemberani, kuat fisik, teguh pendirian, tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung terhadap kepercayaan yang menyimpang, disanalah diharapkan dakwah kaum Abbasiyah mendapat dukungan.
Di kota Humaimah bermukim keluarga Abbasiyah, salah sorang pimpinannya bernama Al-Imam Muhammad bin Ali yang merupakan peletak dasar-dasar bagi berdirinya Dinasti Abbasiyah. Ia menyiapkan strategi perjuangan menegakkan kekuasaan atas nama keluarga Rasulullah SAW. Para penerang dakwah Abbasiyah berjumlah 150 orang dibawah para pimpinannya yang berjumlah 12 orang dan puncak pimpinannya adalah Muhammad bin Ali.
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia. Akan tetapi, Imam Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah terakhir, yaitu oleh Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan Dinasti Umayyah dan dipenjarakan di Haran sebelum akhirnya dieksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya Abu Al-Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika tahu ia akan terbunuh, dan memerintahkan untuk pindah ke Kuffah. Sedangkan pemimpin propaganda di bebankan kepada Abu Salamah. Segeralah Abu Al-Abbas pindah ke Humaimah ke Kuffah diiringi oleh para pembesar Abbasiyah yang lain seperti Abu Ja’far, Isa bin Musa dan Abdullah bin Ali.
Penguasa Umayyyah di Kuffah, Yazid bin Umar bin Hubairah, ditaklukkan oleh Abbasiyah dan diusir ke Wasit. Abu Salamah selanjutnya berkemah di Kuffah yang telat ditaklukkan pada tahun 132 H. Abdullah bin Ali, salah seorang paman Abu Al-Abbas diperintahkan untuk mengejar kahlifah Umayyah terakhir, Marwan bi Muhammad bersama pasukannya yang melarikan diri, dimana akhirnya dapat dipukul di daratah rendah sungai Zabb. Pengejaran dilanjutkan ke Mausul, Harran dan menyeberangi sungai Eufrat sampai ke Damaskus. Khalifah itu melarikan diri hingga ke Fustat di Mesir dan akhirnya terbunuh di Busir, wilayah Al-Fayyum, tahun 132H/750M dibawah pimpinan Salih bin Ali, seorang paman Al-Abbas yang lain. Dengan demikian, maka tumbanglah kekuasaan Dinasti Umayyah, dan berdirilah Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah pertamanya yaitu Abu Al-Abbas Ash-Shaffah dengan pusat kekuasaan  awalnya di Kuffah.[2]
Sejarah peralihan kekuasaan dari Daulat Bani Umayyah kepada Daulat Bani Abbas bermula ketika Bani Hasyim menuntut kepemimpinan Islam berada di tangan mereka, karena mereka adalah keluarga nabi yang terdekat. Tuntutan itu sebenarnya telah ada ketika wafatnya Rosullallah. Tetapi tuntutan itu baru mengkristal (mengeras) ketika Bani Umayyah naik tahta dengan mngalahkan Ali bin Abi Thalib. Bani Hasyim yang menuntut kepemimpinan Islam itu paling tidak dapat digolongkan menjadi dua golongan besar.
Pertama golongan ‘Alawi, keturunan Ali bin abi Thalib. Mereka ini dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu: pertama keturunan dari Fatimah, dan yang kedua keturunan dariMuhammad bin Al-Hanafiyah.
Kedua adalah golongan Abbasiyah (Bani Abbasiyah), keturunan Al-Abbas paman Nabi tersebut. Perbedaan dari kedua golongan tersebut, paling tidak golongan Abbasiyah lebih mementingkan kemampuan politik yang lebih besar daripada golongan ‘Alawi.
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah. Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi. Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu :
1.      Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat yang di sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa itu.
2.      Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan zaman.
3.      Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan oleh para kritikus.
4.      Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di pelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa oleh karena hal- hal tertentu yang merasa tidak puas dengan sistem yang ada.[3]
Beberapa tokoh yang berperan penting dalam proses berdirinya Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut.
a.       Muhammad bin Ali
Muhammad bin Ali merupakan peletak dasar-dasar pendirian kekhalifahan Bani Abbasiyah. Ia memulai gerakan yang disebut dakwah , yaitu gerakan propaganda kepada umat Islam bahwa yang lebih berhak memegang jabatan kekhalifahan adalah kelompok Bani Abbasiyah. Gerakan ini berhasil menjaring pengikut-pengikut yang setia, terutama di wilayah khurasan.
b.      Abu Abbas as-Saffah bin Muhammad  
Ia meneruskan usaha ayahnya dalam gerakan dakwah. Setelah gerakan berhasil menumbang Khalifah Marwan (khalifah terakhir Bani Umayyah), ia dikukuhkan menjadi khalifah dan dianggap sebagai pendiri kekhalifahan Bani Abbasiyah. Akan tetapi, ia hanya memerintah dalam waktu yang relative pendek, yaitu empat tahun (750-754M).
c.        Abu Muslim al-Khurasani
Ia merupakan tokoh kunci dalam gerakan dakwah Bani Abbasiyah. Kelihaiannya dalam berpropaganda berhasil menarik banyak pengikut di daerah asalnya,Khurasan. Setelah kelompok Bani Abbaiyah cukup kuat, mereka mulai menyerang kekuatan Bani Umayyah di daerah tersebut dengan Abu Muslim al-khurasani sebagai panglimanya. Hal itu berakhir dengan tumbangnya Khalifah Marwan dari Bani Umayyah.[4]
Selama dinasti Bani Abbasiyah ini berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan itu berbeda–beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarakan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasa membagi masa pemerintahan bani Abbasiyah ke dalam lima periode, yaitu:
1.      Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2.      Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
3.      Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4.      Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
5.      Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.[5]

B.     Runtuhnya Bani Umayyah
Pemerintahan Bani Umayyah memang banyak menuai keberhasilan, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak menaati isi perjanjiannya dengah Hasan ibn Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam.[6]
Dari situlah datangnya perlawanan kaum Syi’ah dimulai, bersama dengan Abdullah ibn Zubair mereka menggabungkan kekuatan. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi’ah, pemberontakan yang terkenal yaitu pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687. Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali, yaitu umat Islam non-Arab yang berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas II. Mukhtar terbunuh dalam peperangan melawan gerakan oposisi lainnya.[7]
Pada fase akhir kekuasaan Umayyah terjadi konflik yang menantang legitimasi dan keadilan pemerintah sehingga menyebabkan melemahnya solidaritas dikalangan Bangsa Arab. Kerusuhan dan pemberontakan antar suku ditambah dengan gabungan berbagai kekuatan, seperti kaum khawarij dan Syi’ah yang telah memberi banyak pengaruh bagi konflik yang ditimbulkan dan masalah asimilasi sosial dan penyatuan ekonomi antara non-Arab dan kerajaan kerajaan Islam.[8]
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya pada kehancuran. Diantaranya yaitu:
1.      Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi arab, yang lebih menentukan aspek senioritas, pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana.
2.      Latar belakang terbentuknya dinasti Umayyah tidak dapat dipisahkan dari berbagai konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti dimasa awal dan akhir maupun secara bersembunyi seperti dimasa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan – gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3.      Pada masa kekuasaan Bani umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara         (bani qais) dan Arab Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum islam semakin runcing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan timur lainnya merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa arab yang di perhatikan pada masa Bani Umayyah.
4.      Lemahnya pemerintahan daulah Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan istana sehingga anak anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mererka mewarisi kekuasaan. Disamping itu sebagian besar golongan awamkecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5.      Penyebab langsung runtuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abbas Al-Muthali. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah. Dan kaum Mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintah Bani Umayyah.
Beberapa penyebab tersebut muncul dan menumpuk jadi satu, sehingga akhirnya mengakibatkan keruntuhan Dinasti Umayyah.
Demikianlah, Dinasti Umayyah pasca wafatnya Umar bin Abdul Aziz yang berangsur-angsur melemah. Kekhalifahan sesudahnya dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh yang melemahkan dan akhirnya hancur. Dinasti Bani Umayyah diruntuhkan oleh Dinasti Bani Abbasiyah pada masa khalifah Marwan bin Muhammad (Marwan II) pada tahun 127 H/744 M. [9]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Bani Abbas—sebuah kabilah yang selain dekat dengan kerabat Muhammad SAW., juga mempunyai hubungan kedekatan dengan para pendiri pemerintahan Islam sebelumnya. Perjuangan yang dilakukan oleh turunan Bani Hasyim dan Bani Abbas ini dilakukan dalam 2 fase, fase sangat rahasia dan fase terang-terangan. Fase sangat rahasia dilaksanakan selama Muhammad ibn Ali al-Abbasi masih hidup. Untuk mendapatkan dukungan, kelompok ini melakukan propaganda yang dikirim ke seluruh pelosok negara. Pusat kegiatan dilakukan di kota Hamimah, Kuffah dan Khurasan. Gerakan ini mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan-golongan yang pada mulanya mendukung daulat Amawiyah.
Beberapa tokoh yang berperan penting dalam proses berdirinya Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut : Muhammad bin Ali, Abu Abbas as-Saffah bin Muhammad dan Abu Muslim al-Khurasani.
Selama dinasti Bani Abbasiyah ini berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan itu berbeda–beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarakan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasa membagi masa pemerintahan bani Abbasiyah ke dalam lima periode, yaitu:
1.      Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M).
2.      Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M).
3.      Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M).
4.      Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/l194 M).
5.      Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya pada kehancuran. Diantaranya yaitu:
a.       Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi arab, yang lebih menentukan aspek senioritas, pengaturannya tidak jelas.
b.      Latar belakang terbentuknya dinasti Umayyah tidak dapat dipisahkan dari berbagai konflik politik yang terjadi di masa Ali.
c.       Pada masa kekuasaan Bani umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (bani qais) dan Arab Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum islam semakin runcing.
d.      Lemahnya pemerintahan daulah Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan istana sehingga anak anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mererka mewarisi kekuasaan.
Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abbas Al-Muthali.


Footnote dan daftar pustaka saya hidden, jika ingin footnote dan daftar pustaka bisa langsung memfollow akun IG atau twitter di samping untuk menghubungi saya dan memintanya. terimakasih :)

Museum Ronggowarsito



Salam Budaya!
Berawal sejak lama, suatu kesamaan pikiran, perilaku, bahasa, dan wilayah menjadikan masyarakat yang hidup bersama itu menciptakan suatu kebiasaan yang dinamakan sebagai Budaya. Setiap masyarakat di berbagai wilayah memiliki adat budaya yang berbeda dan itu memberikan ciri khas masing-masing. Pulau Jawa, dimana orang mencari kehidupan, dimana banyak orang dari ribuan pulau di Indonesia menggantungkan hidupnya di pulau Jawa. Pulau yang terdiri dari 4 provinsi yang sekarang dihuni puluhan suku yang berbeda, dulunya hanya ada suku Jawa yaitu suku asli dari pulau Jawa.
Saya sendiri lahir dan tumbuh di pulau Jawa tepatnya di Jawa Tengah. Kemudian menempuh pendidikan di UIN Walisongo Semarang, dan bertemu dengan Bapak Rikza Chamami yang mengampu mata kuliah Islam Budaya Jawa. Saya dan kawan-kawan satu jurusan bersama dengan jurusan lain diberi tugas untuk berkunjung ke Museum Ronggowarsito yang terletak di Semarang yang jaraknya hanya 10 menit dari kampus kami di Ngaliyan.
Langsung saja, ini adalah kunjungan saya yang kedua di Museum Ronggowarsito, dengan memakai kebaya dan bawahan batik sutra khas dari pakaian adat Jawa sendiri serta berbekal kamera ponsel saya menelusuri rekam jejak dari para leluhur. Mulai dari benda pusaka, perhiasan, pakaian adat, tembikar, alat musik, wayang, mata uang, kitab-kitab, sampai dengan miniatur rakyat yang berdemo. Tidak hanya itu saja, ada juga miniatur masjid-masjid besar di Jawa Tengah yang dikenal sebagai peninggalan para Wali. Walisongo sendiri tersebar dari Jawa Barat, Jawa Tengah sampai dengan pulau Madura, Jawa Timur.
Disini saya tertarik dengan manuskrip, apa itu manuskrip? Manuskrip adalah dokumen dalam bentuk apapun yang ditulis dengan tangan atau diketik yang belum dicetak atau dijadikan buku tercetak. Manuskrip mempunyai jenis yang beraneka ragamn, di Jawa Tengah sendiir dibedakan berdasarkan jenis media yang digunakan dan bentuknya.pertama, yaitu manuskrip yang menggunakan naskah lontar atau daun tal dan manuskrip yang ditulis dengan kertas dluwang. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu penggunakan kertas dluwang ini digantikan oleh watermark yang kualitasnya jauh lebih baik. Sedangkan jenis manuskrip berdasarkan bentuknya dapat dibedakan menjadi, sebelum masuknya Islam dan sesudah masuknya Islam. Sebelum masuknya Islam, manuskrip dapat dibedakan menjadi kakawin, babad, serat, dan juga kidung. Babad yaitu cerita rekaan yang berdasarkan peristiwa sejarah, babad merupakan salah satu genre diantara sekian banyak karya sastra Jawa yang mengisahkan cerita sejarah. Salah satu karya yang terkenal yaitu Babad Tanah Jawa. Babad ini menceritakan para raja tanah Jawa, mulai dari Nabi Adam, hingga tahun 1647.
Manuskrip pada masa sesudah Islam, seperti lontar, suluk dan Al-Qur’an tulis tangan. Sedangkan manuskrip yang ada di Jawa Tengah seperti lontar Nabi Yusuf, serat Suluk kaga Kridha Sopana, Naskah Rengganis, Naskah Malad Semirang (Panji Semirang), dan Al-qur’an tulis tangan. Salah satu contohnya adalah serat Suluk kaga Kridha Sopana, serat ini bertuliskan huruf Jawa Kursif atau miring. Suluk tersebut berisi ajaran keagamaan dan falsafah tentang kesempurnaan hidup. Suluk umumnya berbentuk puisi (tembang atau mocopat), tetapi ada juga yang berbentuk prosa (gancar) yang sering disebut wirid. Suluk mulai berkembang sekitar abad XV bersamaan dengan perkembangan agama Islam ditanah Jawa.
Sedikit penjelasan mengenai manuskrip, saya telah melihat bukti ssejarah, bukti adanya peninggalan budaya dari masa lalu yang tersimpan dengan apik di dalam bungkusan kaca-kaca di Museum Ronggowarsito. Mengamati jejak-jejak peradaban masa lalu dan kami terutama saya merasa dibawa kembali ke kehidupan dahulu, menikmati ke-asri-an suasana dimana tekhnologi belum se-modern ini. Perpaduan budaya Jawa dengan datangnya agama Islam begitu terasa pada miniatur masjid-masjid yang ada dan semua itu adalah suatu pengalaman yang bisa saya dibagi kepada orang lain.
Salam Budaya!











Nama                           : Rizka Umami
NIM                            : 1403046056
Kelas                           : PBI-5B
Mata Kuliah                : Islam Budaya Jawa
Dosen Pengampu        : M. Rikza Chamami, M. SI