Powered By Blogger

Selasa, 03 Januari 2017

Makalah Fiqh tentang Shalat Berjamaah



       I.            PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang memiliki aturan-aturan dan ajaran-ajaran yang lengkap dan sempurna. Kelengkapan dan kesempurnaan ajaran-ajarannya dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan. Aspek-aspek kehidupan yang menjadi perhatian Islam tidak hanya aspek kehidupan yang berhubungan langsung dengan Allah SWT sebagai Dzat Pencipta dan satu satunya Dzat yang wajib disembah (habl min Allah); akan tetapi aspek kehidupan itu juga meliputi hubungan sesama manusia (habl min al-nas) msupun hubungan dengan makhluk lainnya, seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan (habl min al-‘alam).
Dalam hubungan secara langsung dengan Allah, Islam telah memberikan tata cara khusus yang harus dilakukan oleh umat Islam. Tata cara yang mengatur hubungan langsung dengan Allah secara khusus adalah shalat. Sebagai ibadah madhah, shalat merupakan satu-satunya ibadah langsung yang dapat menjembatani hubungan batin manusia dengan Allah, hubungan makhluk dengan penciptanya. Dan bahkan karena urgennya, sampai-sampai Rasulullah SAW dalam menerima titah shalat ini harus diisra’-mi’rajkan, Rasulullah secara langsung bertemu dengan Allah, beliau diperintah oleh Allah untuk melaksanakan shalat.
    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian shalat berjamaah?
B.     Apa hukum shalat berjamaah?
C.     Apa syarat shalat berjamaah?
D.    Bagaimana tata cara shalat berjamaah?
E.     Apa saja masail al-ashriyah dalam shalat berjamaah?
F.      Apa saja hikmahdalam shalat berjamaah?
 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Shalat Berjamaah
Istilah Al-Jama’ah berarti berkumpul. Shalat berjama’ah adalah shalat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama sama dan salah satu diantara mereka diikuti oleh orang lain. Orang yang diikuti dinamakan imam. Orang yang ,mengikuti dinamakan makmum. Pengertian tersebut menunjukan bahwa shalat yang dilakukan secara bersama-sama itu tidak mesti merupakan shalat berjamaah, karena bisa jadi tidak dimaksudkan untuk mengikuti(berniat makmum) pada salah seorang diantara mereka. Kenyataan seperti ini biasanya kita jumpai di mushala atau masjid pada tempat tempat transit. Misalnya, di masjid terminal atau stasiun, banyak orang yang shalat, tetapi tidak menjadikan salah seorang diantara mereka untuk menjadi imam.Shalat dengan cara seperti ini tentu bukan termasuk shalat berjamaah, karenanya tidak memperoleh keutamaan- keutamaannya.
Diantara dalil tentang disyariatkannya shalat berjamaah adalah QS.An-Nissa’:102 dan Al-Baqarah : 43.[1]
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ
“Dan apabila kamu (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu...” (QS.An-Nissa’:102)
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.(QS. Al-Baqarah : 43)

B.     Hukum Shalat Berjamaah
Telah lama kita ketahui bahwa shalat berjamaah lebih baik dan lebih utama daripada shalat sendiri karena pengutamaan shalat jama’ah atas shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat. Sesuai dengan hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma, “Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, ‘Shalat jama’ah lebih utama daripada shalat sendirian dengan dua puluh derajat.” (Muttafaq ‘alaih).
Melihat dari segi keutamaan pahala dan tujuan dari shalat berjamaah itu sendiri maka ada beberapa ulama yang berbeda pendapat mengenai hukum shalat berjamaah. Beberapa dari mereka ada yang mengatakan bahwa hukum shalat berjamaah adalah sunnah mu’akkad, sedang yang lain ada yang berpendapat fardhu kifayah bahkan ada yang mengatakan hukumnya fardhu ‘ain.
Dikutip dari buku karya Hasyibiyallah yang berjudul Fiqhdan Ushul Fiqh: Metode Istinbath dan Istidlal yang menjelaskan bahwa “Imam Syafi’i dan sebagian ulama berpendapat bahwa shalat berjamaah pada shalat lima waktu adalah fardhu kifayah bagi orang laki-laki yang muqim (tidak musafir) dan memiliki kesanggupan, untuk menampakkan syiar berjamaah pada setiap negeri kecil atau besar. Dijelaskan lagi mengenai fardhu kifayah, yakni jika dalam suatu kota telah ada sekelompok orang yang melaksanakannya, gugurlah kewajiban tersebut dari penduduk lainnya. Tetapi jika tidak ada yang menyelenggarakannya, maka seluruh penduduk kota itu menanggung dosa”.
Sedangkan dari sumber lain mengatakan bahwa:
1)      Sunnah mu’akkad: ini adalah pendapat yang terkenal dari murid-murid Abu Hanifah, mayoritas murid Imam Malik, banyak dari murid Imam Syafi’i dan salah satu riwayat dari Ahmad.
2)      Fardhu Kifayah: ini adalah pendapat yang diunggulkan dalam madzhab Syafi’i, pendapat beberapa murid Imam Malik, dan salah satu pendapat dalam madzhab Ahmad.
3)      Fardhu ‘Ain: ini adalah pendapat yang di-nas dari Ahmad dan imam-imam salaf lainnya, fuqaha ahli hadits, dan lainnya.[2]

C.     Syarat Shalat Berjamaah
Agar memperoleh keutamaan dalam shalat berjamaah, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi baik bagi imam maupun makmum.Ketentuan syari’ah tentang syarat ini dimaksudkan untuk membedakan antara shalat berjamaah dengan kerumunan orang yang kebetulan bersama-sama orang berada di satu tempat. Oleh karena itu, bagi imam dan makmum, ada beberapa syarat.[3]
1.      Syarat Imam
Di antara syarat imam adalah sebagai berikut:
a)      Laki-laki, syarat ini untuk jemaah yang heterogen (terdiri laki-laki, perempuan, dan banci). Namun, bagi jemaah khusus perempuan, imamnya boleh banci atau perempuan.
b)      Perempuan sah menjadi imam jika makmumnya hanya kaum perempuan.
c)      Imam berada dalam satu tempat dengan makmum.
Selain syarat diatas, ada ketentuan lain yang sifatnya diutamakan. Maksudnya imam diutamakan berdasarkan urutan sebagai berikut.
a)      Orang yang paling fasih membaca Al-Qur'an.
b)      Orang yang paling mengerti masalah Islam.
c)      Orang yang paling dahulu hijrahnya.
d)     Orang yang paling tua umurnya.

2.      Syarat Makmum
Di antara syarat makmum adalah sebagai berikut:
1)      Berniat (ma'muman) mengikuti imam. Adapun imam tidak disyaratkan berniat menjadi imam, hal itu hanyalah sunah,agar ia mendapat pahala berjemaah.
2)      Mengiringi imam dalam semua pekerjaanya.Maksudnya makmum  tidak mendahului gerakan imam, juga tidak persis bersamaan.
3)      Mengikuti setiap gerakan shalat imam, umpamanya ketika berdiri, ruku’ dan seterusnya , termasuk ketika sujud sahwi; tidak sebaliknya,misalnya imam sudah iktidal, makmum baru akan rukuk.
4)      Berada dalam satu tempat dengan imam.
5)      Tidak berdiri di depan imam.
6)      Mengikuti imam yang aturan shalatnya sama. Artinya, tidak sah shalat fardhu yang lima mengikuti imam yang sedang salat gerhana(karena salat gerhana, aturan rukuknya dua kali-dua kali) atau salat mayat (yang aturannya cukup dengan 4 kali takbir dan tidak pakai ruku’). Namun, terhadap shalat-shalat yang aturannya sama, diperbolehkan, umpamanya orang yang shalat isya’ mengikuti orang tarawih dan sebaliknya, karena aturan kedua shalat itu sama.
7)      Tidak berimam kepada orang yang sedang menjadi makmum.
8)      Tidak mengikuti imam yang diketahui tidak sah(batal) shalatnya. Misalnya , mengikuti imam yang makmum ketahui bukan orang Islam, atau ia berhadas/bernajis badan, pakaian atau tempatnya.




D.    Tata Cara Shalat Berjamaah
Sebagaimana kita ketahui bahwa shalat berjamaah itu dapat dilaksanakan minimal oleh dua orang. Artinya, satu orang menjadi imam dan seorang lagi menjadi makmum. Dalam prakteknya, shalat berjamaah yang minimal dilaksanakan oleh dua orang berbeda dengan shalat berjamaah yang dilaksanakan oleh tiga orang atau lebih. Dalam berjamaah, ketika orang yang melaksanakan shalat hanya dua orang, maka shalat imam dan makmum harus berada dalam satu garis/baris. Maksudnya, misal diumpamakan ada sebuah garis, maka posisi telapak kaki orang yangimam agak kedepan dan posisi kaki orang makmum agak sedikit kebelakang. Artinya, pada garis yang sama telapak kaki imam menyentuh garis, dan telapak kaki makmum juga menyentuh garis yang sama. Sehingga dengan pengertian ini, kalau ada orang yang shalat berjamaah dengan jumlah minimal (dua orang) dan posisi antara imam dan makmum berjauhan—misalnya 0,5 sampai 1 meter— maka shalat mereka tidak dihitung berjamaah;artinya shalatnya sah, tetapi pahala berjamaahnya hilang. Praktek shalat berjamaah seperti ini juga masih kurang dipahami oleh umat Islam secara umum, masih menyamakan praktek shalat berjamaah dengan dua orang dan shalat berjamaah dengan tiga orang atau lebih.
Sedangkan shalat berjamaah yang jumlahnya 3 (tiga) orang atau lebih, yaitu satu orang menjadi imam dan dua orang lainnya atau lebih menjadi makmum, dalam prakteknya berbeda dengan shalat berjamaah yang dilaksanakan oleh dua orang. Shalat berjamaah yang jumlahnya tiga orang atau lebih, maka dilaksanakan dengan mengambil posisi depan belakang. Maksudnya, satu orang yang menjadi imam berada digaris (shaf) depan, sedang dua orang atau lebih yang menjadi makmum berada digaris (shaf) belakannya, dengan posisi saling berdekatan. Apabila tidak demikian, maka fadhilah(keutamaan=pahala) berjamaah juga akan hilang.
Kondisi yang hampir sama dengan shalat berjamaah dua orang, juga akan dialami shalat berjamaah dengan tiga orang atau lebih. Kondisi dimaksud adalah bahwa pada shalat berjamaah yang dilaksanakan lebih dari tiga orang akan menyebabkan fadhilah berjamaah hilang sebagaimana shalat berjamaah dua orang, apabila ada orang yang keempat atau selanjutnya berjamaah tetapi tidak berada pada garis (shaf) yang sama, padahal pada saat itu garis (shaf) yang ada masih kosong. Artinya, orang yang datang kemudian dan dia menjadi makmum masbuq (makmum yang tertinggal) tidak berada satu garis dengan makmum lainnya, padahal masih ada tempat yang kosong. Maka shalat bagi makmum yang masbuq itu fadhilah berjamaahnya juga hilang, karena dia mendirikan shafnya sendiri.[4]
Dalam shalat berjamaah penting bagi kita untuk memahami praktek dalam membuat shaf shalat, ada beberapa cara dalam mengatur barisan shalat, sebagai berikut:
1.      Tempat berdirinya makmum tidak lebih depan daripada imam. Bagi orang yang shalat sambil berdiri diukur tumitnya, bagi orang yang duduk diukur pinggulnya. Bila berjemaah di Masjidil Haram, hendaklah saf mereka melengkung sekeliling Kakbah, di lain pihak imam berhadapan dengan makmum.
Jika makmum hanya seorang, makmum berdiri di sebelah kanan imam agak ke belakang sedikit. Apabila datang orang lain hendaklah berdiri di sebelah kiri imam. Sesudah takbir, imam hendaklah maju, atau kedua orang makmum tadi mundur.
2.      Jika makmum terdiri atas beberapa saf dan jemaah terdiri dari laki-laki dewasa, anak-anak, dan perempuan, maka saf diatur dengan benar. Di belakang imamadalah saf laki-laki dewasa, saf anak-anak, kemudian saf perempuan.
3.      Saf disusun secara lurus dan rapat sehingga tidak ada celah di antara makmum.
4.      Jika makmum hanya satu orang, maka makmum berdiri di sebelah kanan imam. Hal ini berlaku pada jemaah khusus laki-laki, atau khusus perempuan. Namun, jika yang menjadi makmum perempuan dan yang menjadi imam laki-laki, maka perempuan tadi berdiri di belakang imam.
5.      Jika makmum terdiri dari seorang laki laki dan seorang perempuan, maka makmum laki laki berdiri di samping kanan imam, sedang makmum perempuan berdiri di belakang keduanya.
6.      Jika makmum terdiri dari dua orang laki laki atau lebih dalam jamaah khusus laki laki, atau dua orang perempuan atau lebih dalam jamaah khusus perempuan, maka makmum berdiri di belakang imam.
7.      Jika makmum terdiri dari sejumlah laki laki dan sejumlah perempuan, maka makmum laki laki berada dibelakang imam sedangkan makmum perempuan berada dibelakang makmum laki laki.
8.      Dianjurkan agar makmum yang berdiri dibelakang imam adalah orang yang berilmu dan memiliki keutamaan.

E.     Masail al-‘Ashriyah
Ketika membahas mengenai suatu pembahasan dalam fiqh terutamanya, pastilah ada beberapa masalah-masalah yang mengikutinya, sebagai berikut:
1.      Kaum wanita mengikuti jamaah di masjid, kaum wanita dibolehkan mengikuti jamaah bersama laki-laki di masjid, tetapi bagi kaum wanita yang masih banyak tugasnya sebagai ibu rumah tangga dan pendidik  bagi putra-putrinya, maka shalat di rumahnya lebih utama daripada di masjid.
2.      Seorang wanita menjadi imam shalat bagi laki-laki, mayoritas ulama madzhab seperti (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal) tidak membolehkan seorang wanita menjadi imam bagi laki-laki. Sekalipun wanita tersebut lebih unggul daripada para lelaki. Wanita hanya diperbolehkan menjadi imam bagi wanita-wanita lainnya. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW: “janganlah seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki”.[5]
3.      Bermakmum terhadap orang yang masbuq. Jika seseorang masuk masjid dan ketinggalan shalat berjamaah kemudian dia mendapati ada orang yang shalat sendirian, maka tidak mengapa baginya untuk ikut shalat bersamanya menjadi makmum, bahkan hal tersebut lebih utama.
4.      Orang yang shalat fardhu makmum kepada orang yang shalat sunnah. Tidak mengapa orang yang shalat fardhu mengikuti orang yang shalat sunnah. Terdapat riwayat yang shahih dari Mu’az bin Jabal, bahwa dia shalat Isya bersama Rasulullah, kemudian dia kembali kepada kaumnya dan ikut melakukan shalat bersama mereka, maka itu baginya shalat sunat dan bagi mereka adalah shalat fardhu, dan yang semisalnya jika seseorang datang pada bulan Ramadhan sedang mereka sedang melaksanakan shalat tarawih sedangkan dia belum melakukan shalat Isya, maka dia dapat melakukan shalat Isya bersama mereka agar dapat meraih keutamaan shalat berjamaah dan jika imam salam dia berdiri dan meneruskan shalatnya.[6]
5.      Apabila sang imam batal wudhunya saat shalat, maka imam tersebut menunjuk seseorang agar menggantikannya menjadi imam untuk meneruskan shalat yang tersisa, sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab tatkala dirinya ditikam saat mengimami shalat, maka dia menunjuk Abdurrahman bin ‘Auf untuk meneruskan shalat. Jika imam tidak menunjuk seseorang, maka salah seorang ada yang maju dan meneruskan shalat. Jika mereka memulai shalat dari awal juga tidak mengapa karena hal ini adalah masalah khilafiyah antara para ulama. Akan tetapi, yang lebih kuat adalah imam menunjuk seseorang untuk meneruskan shalat. Jika mereka memulai dari pertama juga tidak mengapa.

F.      Hikmah Shalat Berjama’ah
      Allah SWT telah mensyariatkan shalat berjamaah karena terdapat hikmah diantaranya[7] :
1.      Persatuan umat.
       Allah SWT mengingkan umat Islam menjadi umat yang satu sebab Tuhan-Nya satu, syariatnya satu, kiblatnya satu dan tujuannya satu.
Firman-Nya:
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” Q.S Al-Anbiya’:92
2.      Mensyiarkan syiar Islam.
Allah SWT mensyariatkan shalat di masjid dengan firman-Nya yaitu:
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” Q.S. At-Taubah:18
3.      Merealisasikan penghambaan kepada Allah Tuhan semesta alam.
Tatkala muadzin mengumandangkan adzan dan mengeraskan Allahu Akbar, lalu seorang muslim mengiyakan panggilan Pencipta-Nya dan Tuan-Nya, meninggalkan semua kenikmatan kehidupan dunia, kesenangan dan daya tariknya, pergi untuk menunaikan shalat berjamaah, dan tidak lalai oleh harta bendanya dan anak-anaknya dari mengingat Allah dan dari shalat, maka itulah bukti atas penghambaan seorang manusia kepada Tuhan, bumi dan langit.
4.      Membakar kemarahan musuh-musuh Islam
Shalat jamaah adalah pemaklumatan kekuatan umat Islam dan bukti atas berpegang teguhnya mereka kepada tali agama Allah, kuatnya persatuan mereka, dan lenyapnya perpecahan dan perselisihan diantara mereka. Tidak ada sedikitpun keraguan bahwa ini akan membuat marah musuh-musuh Islam dan menjadikan hati mereka penuh dengan kekhawatiran dan ketakutan terhadap kedahsyatan umat Islam.
5.      Bersegera mengerjakan kebaikan dan melipatgandakan pahalanya.
Muslim yang benar-benar muslim sangat ingin menaati Tuhannya dan menjauhi kemaksiatan terhadap-Nya. Itu adalah dengan mengerjakan kebaikan dengan beragam jenisnya dan meninggalkan kemungkaran dengan aneka ragamnya. Ia akan terwujud untuk dua tujuan: Pertama, merealisasikan penghambaan dengan melaksanakan perintah-Nya. Kedua, berusaha melipatgandakan kebaikan dan menghapus dosa-dosa serta kesalahan-kesalahan.
6.      Menghilangkan perbedaan status sosial
Semua orang dihadapan Allah adalah hamba, si alim berdiri disamping si bodoh, si kaya duduk dekat si miskin, pemimpin dan rakyat sama-sama berada pada satu barisan. Semua dihadapan Allah sama, yang paling mulia dari mereka disisi Allah adalah yang paling bertakwa.
7.      Memantau keadaan umat Islam dan merealisasikan ukhuwahIslamiyah
Seorang muslim tidak mungkin hidup dengan mengisolasi diri dari saudara-saudaranya. Ia sedikit jika sendiri dan banyak jika bersama saudara-saudaranya. Karenanya Allah mewajibkan beberapa kewajiban atasnya terhadap saudaranya seakidah.
8.      Belajar masalah-masalah agama yang tidak diketahui
Masjid adalah sekolah tempat seorang muslim belajar banyak tentang masalah-masalah agama yang tidak diketahuinya, itu akan terwujud jika seorang muslim selalu mendatangi masjid dan rajin mengerjakan shalat berjamaah dan tadarus Al-Quran serta menghadiri majlis keilmuan.

 IV.            KESIMPULAN
Shalat berjama’ah adalah shalat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama sama dan salah satu diantara mereka diikuti oleh orang lain. Orang yang diikuti dinamakan imam. Orang yang ,mengikuti dinamakan makmum.
Ada beberapa ulama yang berbeda pendapat mengenai hukum shalat berjamaah. Beberapa dari mereka ada yang mengatakan bahwa hukum shalat berjamaah adalah sunnah mu’akkad, sedang yang lain ada yang berpendapat fardhu kifayah bahkan ada yang mengatakan hukumnya fardhu ‘ain.
Agar memperoleh keutamaan dalam shalat berjamaah, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi baik bagi imam maupun makmum.Ketentuan syari’ah tentang syarat ini dimaksudkan untuk membedakan antara shalat berjamaah dengan kerumunan orang yang kebetulan bersama-sama orang berada di satu tempat.
Ketika membahas mengenai suatu pembahasan dalam fiqh terutamanya, pastilah ada beberapa masalah-masalah yang mengikutinya seperti hukum wanita jamaah di masjid, seorang wanita menjadi imam terhadap laki-laki, bermakmum terhadap orang yang masbuk, dan rang yang shalat fardhu makmum kepada orang yang shalat sunnah.
Adapun hikma dari shalat berjamaah antara lain adalah:
1.      Persatuan umat.
2.      Mensyiarkan syiar Islam.
3.      Merealisasikan penghambaan kepada Allah Tuhan semesta alam.
4.      Membakar kemarahan musuh-musuh Islam
5.      Bersegera mengerjakan kebaikan dan melipatgandakan pahalanya.
6.      Menghilangkan perbedaan status sosial
7.      Memantau keadaan umat Islam dan merealisasikan ukhuwah Islamiyah
Belajar masalah-masalah agama yang tidak diketahui


Footnote sama daftar pustaka saya hidden. Jika ingin mengetahui footnote dan daftar pustaka bisa memfollow akun intagram atau twitter dan menghubungi saya. Terima kasih :)

7 komentar: