Powered By Blogger

Sabtu, 14 Juli 2018

Makalah Tafsir tentang Akhlak dan Etika



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG

Salah satu akhlak yang di ajarkan oleh Rasulullah SAW adalah bagaimana kita bertingkah laku dan bergaul dengan sesama manusia agar terjadi hubungan yang harmonis dan saling menghargai sesamanya. Hubungan yang baik terhadap sesama manusia ini antara lain dapat kita lakukan terhadap orang tua kita, teman kita, tetangga kita baik ia muslim maupun non muslim. Oleh karena itu islam merupakan salah satu agama samawi yang meletakkan nilai-nilai kemanusiaan, atau hubungan personal, interpesonal dan masyarakat secara Agung dan Luhur, tidak ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian, yang mengikat semua aspek manusia.
Karena islam yang berakar pada kata “salima” dapat diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan itu sifatnya fitnah, kedamaian, akan hadir, jika manusia itu sendiri menggunakan dorongan diri (drive) kearah bagaimana memanusiakan manusia dan memposisikan dirinya sebagai mahluk ciptaan tuhan yang bukan saja unik tapi juga sempurna. Namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan tidak berjalan, seiring fitnah, maka janji tuhan azab dan kehinaan akan datang. Tegaknya aktifitas keislaman dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang dapat menerangkan bahwa orang itu memiliki ahlak. Jika seseorang sudah memahami ahlak maka akan menghasilkan kebiasaan hidup yang baik.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana bunyi dan tafsir Q.S Al-Qalam ayat 4?
2.      Bagaimana bunyi dan tafsir Q.S An-Nur ayat 27?
3.      Bagaimana bunyi dan tafsir Q.S Al-Baqarah ayat 83?
4.      Bagaimana bunyi dan tafsir Q.S Ar-Ra’ad ayat 35?
5.      Bagaimana bunyi dan tafsir Q.S An-Nisa ayat 86?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Penafsiran Surat Al-Qalam Ayat 4
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“ Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”
Ibnu Abas dan Mujahid berkata, Allah berfirman: لعلى خلق  benar-benar berbudi, yakni berada diatas agama yang agung dari berbagai agama, dimana tidak ada agama yang lebih diridhai Allah selain agama itu.
Dalam shahih muslim diriwayatkan dari Aisyah bahwa budi pekerti beliau adalah Al-Quran. Qatadah berkata “budi pekerti itu adalah perintah Allah yang beliau laksanakan dan larangan Allah yang beliau jauhi”. Menurut satu pendapat budi pekerti itu adalah kelembutan beliau terhadap umatnya dan penghormatan beliau kepada mereka.
Menurut satu pendapat, maksud firman Allah itu adalah “Sesungguhnya engkau mempunyai watak yang mulia”. Al-Mawardi berkata “pendapat inilah yang kuat”. Sebab hakikat al-khuluq dalam bahasa arab adalah etika yang dimiliki manusia pada dirinya yang dinamakan khuluq.[1]
Aisyah juga berkata: “Tidak ada seorangpun yang budi pekertinya lebih baik daripada Rasulullah SAW”. Tidaklah salah seorang dari sahabatnya atau keluarganya memanggilnya kecuali dia menjawab: “Aku memenuhi panggilanmu”. Oleh karena itu Allah berfirman: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.
Al Junaid berkata: “budi pekerti beliau disebut agung sebab beliau tidak mempunyai keinginan kecuali terhadap Allah”. Menurut satu pendapat budi pekerti beliau disebut agung karena akhlak mulia yang terhimpun pada diri beliau. Hal ini ditunjukkan oleh sabda beliau:
اِنَّ اللهَ بَعتيْ لِأتَمِّمَا مَكَارِمَ الْاَخْلَاق
“sesungguhnya Allah mengutusku untuk menyempurnakan akhlak mulia”
Berdasarkan beberapa riwayat diatas hal penting yang bisa diambil hikmahnya adalah bahwa Rasulullah SAW merupakan seseorang yang memiliki budi pekerti yang paling baik diantara manusia manapun. Maka Allah memberikan predikat … budi pekerti yang agung. Artinya bahwa Rasulullah memang memiliki akhlak yang sangat mulia, yang tidak dimiliki oleh orang lain. Sifat penyabar, pemaaf, mulia hati, dan segala kepribadian yang dimilikinya.
B.     Penafsiran Surat An-Nur ayar 27
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.”
Ayat ini menjelaskan tentang etika kunjung mengunjungi, yang merupakan bagian dari tuntutan Ilahi yang berkaitan dengan pergaulan sesama manusia. Ayat ini mengandung ketetapan hukum-hukum dan tuntunan-tuntunan yang sesuai dengan pergaulan manusia.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.”
Allah SWT. mendidik hamba-Nya yang mukmin dengan berbagai adab yang bermanfaat dalam memelihara kelestarian kecintaan pergaulan yang baik diantara mereka. Diantara adab tersebut adalah hendaklah mereka tidak memasuki rumah orang lain sebelum meminta izin dan mengucapkan salam, agar tidak melihat aurat orang yang punya rumah, dan tidak mengetahui keadaan yang biasanya ditutupi oleh manusia agar tidak diketahui orang lain.
Hendaklah orang meminta izin tidak lebih dari tiga kali, jika diberi izin maka dia boleh masuk, dan jika tidak maka hendaknya dia pergi.[2] Telah ditetapkan dalam As-Sahih bahwa ketika Abu Musa Al-Asy’ari meminta izin kepada umar sebanyak tiga kali, tetapi tidak mendapatkan izin maka ia kembali. Kemudian Umar berkata: “sepertinya aku mendengar suara Abdullah bin Qais (Abu Musa) meminta izin? Beri dia izin”. Segera orang-orang mencarinya, tetapi tidak menemuinya karena telah pergi. Ketika kemudian Abu Musa datang, Umar bertanya “apa yang telah membuat anda pulang?” Abu Musa menjawab “saya telah meminta izin sebanyak tiga kali tetapi saya tidak mendapat izin, sedang saya telah mendengan nabi SAW. bersabda: “Apabila salah seorang diantara kalian telah meminta izin sebanyak tiga kali, tetapi belumm mendapatkan izin maka hendaklah ia pulang.”
Aqil meriwayatkan dari Ibnu Syihab, ia berkata: “adapun sunah mengucapkan salam sebanyak tiga kali, itu karena Rasulullah SAW. mendatangi Sa’d bin Ubadah, kemudian beliau berkata Assalamu’alaikum. Namun mereka tidak menjawab. Rasulullah berkata lagi assalamu’alaikum, namun mereka tidak menjawab, Rasulullah pun pergi. Ketika Sa’ad kehilangan salam Rasulullah maka diapun tahu bahwa Rasulullah telah pergi. Sa’ad lalu menyusul Rasulullah lalu berkata “wa’alaikum salam ya Rasulullah. Sesungguhnya kami telah mendengar salam darimu,” Rasulullah SAW. kemudian pergi bersama Sa’ad hingga memasuki rumahnya”.[3]
Diriwayatkan bahwa ayat ini, turun berkenaan dengan pengaduan seorang wanita Anshar yang berkata bahwa: “Wahai Rasulullah saya di rumah dalam keadaan enggan dilihat oleh seseorang, tidak ayah tidak pula anak. Lalu ayah masuk menemuiku dan ketika beliau masih di rumah datang lagi seseorang dari keluarga sedang saya ketika itu masih dalam kadaan semula (belum siap ketemu orang), maka apa yang harus saya lakukan”, kemudian turunlah ayat ini yang menerangkan bahwa ketika memasuki rumah hendaklah meminta izin serta mengucap salam terlebih dahulu.[4]
Kata تَسْتَأْنِسُوا tasta’nisu pada ayat ini bermakna permintaan, dengan demikian penggalan ayat ini memerintahkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang mengundang simpati tuan rumah agar mengizinkannya masuk ke dalam rumah. Sehingga ia tidak didadak dengan kehadiran seseorang tanpa persiapan. Dengan kata lain perintah diatas adalah perintah unutk meminta izin. Pada dasarnya rumah adalah tempat beristirahat, dan dijadikan tempat berlindung bukan hanya dari bahaya, tapi juga dari hal-hal yang penghuninya malu bila terlihat oleh orang luar. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh tamu untuk bermaksud tersebut, misalnya mengetuk pintu, atau yang paling baik adalah mengucapkan salam.
Kata وَتُسَلِّمُوا watusallimudan kamu memberi salam” merupakan salah satu contoh dari meminta izin. Dalam konteks ini diriwayatkan oleh imam Malik bahwa Zaid Ibn Tsabit berkunjung ke rumah Abdullah ibn Umar. Dipintu dia berkata: “bolehkah saya masuk?” setelah diizinkan dan dia masuk rumah, Abdullah berkata: “mengapa engkau meminta izin menggunakan cara orang-orang Arab masa jahiliyyah?” jika engkau meminta izin maka ucapkanlah assalamu’alaikum, dan bila engkau mendapatkan jawaban, maka bertanyalah “bolehkah saya masuk?” [5]
Meminta izin, mengucapkan salam dan menunggu hingga kalian diberi izin itu lebih baik daripada masuk secara tiba-tiba atau daripada masuk seperti kebiasaan jahiliyyah. Pada masa jahiliyyah, apabila seseorang hendak memasuki rumah orang lain biasa mengucapkan “selamat pagi” atau “selamat sore” kemudian langsung masuk. Boleh jadi ketika itu ia mnedapati penghuni rumah sedang dalam selimut dengan isterinya.[6]
Pada intinya penjelasan ayat ini adalah ada satu etika yang harus kita lakukan ketika memasuki rumah orang lain maupun rumah sendiri, yaitu dengan meminta izin terlebih dahulu. Khususnya kita sebagai orang Islam tentu akan lebih baik dengan mengucap salam sebagai bentuk penghormatan kita kepada tuan rumah serta permintaan kita atas kerelaan yang punya rumah untuk mempersilahkan kita sebagai tamu memasuki rumahnya.
Rasulullah memberikan contoh bertamu yang baik yaitu dengan mengucap salam sebanyak tiga kali tujuannya adalah untuk memberi persiapan kepada tuan rumah untuk menyambut tamu, apabila dengan tiga kali salam tetap tidak ada jawaban maka tamu sebaiknya pulang karena tidak ada hak untuk memasuki rumah tersebuut tanpa izin.

C.    Penafsiran Surat Al Baqarah Ayat 83
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ
“Dan ingatlah, ketika kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia. Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”.
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ
“Dan ingatlah, ketika kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah”
Allah mengingatkan nabi SAW, ketika dia menetapkan atas bani israil akan janji yang harus mereka penuhi, yaitu bahwa mereka tidak akan menyembah sesuatu selain Allah, biarpun berupa manusia atau berhala, karena hal itu berarti mempersekutukan Allah dengan benda-benda tersebut. Agama Allah yang dibawa oleh para utusaNya semua menekan untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan Nya dengan sesuatu apapun.[7]
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan berbuat baiklah kepada orang tua”
Berbuat kebajikan kepada orang tua adalah dengan mengasihi, memelihara, dan menjaganya dengan sempurna serta menuruti kemauanya selama tidak menyalahi perintah Allah. Adapun berbakti kepada orang tua adalah karena orang tua telah berkorban untuk anaknya pada waktu masih kecil dengan perhatian yang penuh serta belas kasih. Mereka mendidik serta mengurus kepentinganya ketika lemah. Orang tua memberikan balasan kepada ibu bapaknya. Allah berfirman:
هَلْ جَزَاءُالْأِحْسَنَ أْلأِحْسَنُ
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali dengan kebaikan (pula)”
Selain Allah menyebutkan hak-hak orang tua disebut pula hak kerabat (kaum keluarga), yaitu berbuat kebajikan kepada mereka. Karena berbuat kebajikan kepada kerabat adalah factor yang memperkuat tali persaudaraan antar keluarga tersebut.
وَذِي الْقُرْبَىٰ
“Dan kaum kerabat”
Suatu umat terdiri atas keluarga dan ruamah tangga. Maka kebaikan dan keburukan umat tergantung kepada kebaikan dan keburukan keluarga serta rumah tangga. Orang yang tidak membina rumah tangga berarti tidak ikut membina unsure umat. Kemudian setiap rumah tangga tersebut hendaknya menghubungkan tali persaudaraan dengan rumah tangga lainya berdasarkan tali keturuanan, keagamaan, ataupun kebangsaan. Dengan demikian terbinalah suatu bangsa dan umat yang kuat.[8]
وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ
anak-anak yatim, dan orang miskin
Selanjutnya Allah memerintahkan untuk berbuat baik kepada anak yatim dengan mendidiknya dengan baik dan memelihara segala hak-haknya. Al-Qur’an dan sunah menganjurkan agar memperhatikan anak yatim walaupun ia kaya, karena yang dipandang adalah keyatimanya. Allah mewasiatkan anak-anak yatim kepada masyarakat agar menganggap mereka itu sebagai anak sendiri memberikan pendidikan.
Kemudian perintah selanjutnya adalah untuk berbuat baik kepada orang miskin, dengan memberikan sebagian harta kita kepada mereka karena mereka belum bisa memenuhi kebutuhanya, maka dari itu sangat membutuhkan bantuan orang lain.
Surat Al-Baqarah ayat 83 ini memberikan penjelasan tentang akhlak yaitu akhlak kepada orang tua antara lain berbakti kepada orang tua, menghormati, merawat hingga usia renta, dan yang terpenting adalah jangan sampai menyakiti hati orang tua karena bisa menimbulkan kemurkaan Allah. Disamping itu ada beberapa pelajaran tentang akhlak yaitu berbuat baik kepada karib kerabat, mengasihi anak yatim, orang miskin, serta berkata baik kepada orang lain.
D.    Penafsiran surat Ar-Ra’ad ayat 35
 مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ ۖ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ۖ أُكُلُهَا دَائِمٌ وَظِلُّهَا ۚ تِلْكَ عُقْبَى الَّذِينَ اتَّقَوْا ۖ وَعُقْبَى الْكَافِرِينَ النَّارُ
“Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa, sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka”
Allah menggambarkan surga bagi hambanya yang bertaqwa kepada-Nya dan Rosul-Nya diibaratkan bagai istana dengan sungai sungai yang mengalir di bawah pepohonan, di lengkapi dengan kebun-kebun yang luas taman-taman yang indah dengan buah-buahnya yang tidak pernah berhenti tumbuh, siap dipetik setiap saat dan lezat rasa nya. Inilah kedudukan dan tempat kembali orang-orang yang takut kepada Rabbnya dan mengikuti petunjuk-Nya.[9]
Kata ( مَثَلُ) digunakan untuk perumpamaan atau sifat keadaan menakjubkan. Kata ini digunakan untuk mepersamakan antara dua hal yang disebutnya. Kata matsal penekanannya lebih banyak pada keadaan sifat menakjubkan yang digambarkan oleh kalimat matsal itu.[10]
Secara Bahasa uqba tempat  berakhir dalam konteks ini yang di maksud adalah surga dan neraka, yang dihadiahkan kepada orang-orang bertaqwa adalah surga yang di dalamnya mengalir sungai sungai, buah-buahan dan naungan yang tak terhenti, sedangkan bagi orang-orang kafir adalah neraka yang penuh siksa.



E.     Penafsiran surat An-Nisa ayat 86
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
“Apabila kamu  diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu”
Ayat diatas menjelaskan tentang menjalin hubungan harmonis , yaitu apabila ada yang menyampaikan penghormatan kepada kamu, baik dalam ucapan maupun perlakuan atau member hadiah maka balaslah dengan baik dengan melebihkan atau menaikan kualitas dan kuantitasnya atau balas dengan serupa.[11]
Ayat diatas menekankan perintah menjalin hubungan baik diantara manusia dan kewajiban membalas kebaikan atau salam kepada kita dengan yang lebih baik atau sepadan. Apabila ada orang yang menyampaikan salam dengan nada rendah maka kita membalasnya dengan nada yang lebih keras tetapi bukan berteriak karna dikhawatirkan menyinggung, hal ini dilakukan dengan nada lebih ramah dan bersahabat. Hal itu menunjukan sebuah penghormatan, perhatian serta penerimaan. Seperti hadist berikut ini.
Hak muslim pada muslim yang lain ada enam.” Lalu ada yang menanyakan, ”Apa saja keenam hal itu?” Lantas Rasulullah shallallahu ’alaihiwasallam bersabda, ”(1) Apabila engkau bertemu, ucapkanlah salam padanya, (2) Apabila engkau diundang, penuhilah undangannya, (3) Apabila engkau dimintai nasehat, berilah nasehat padanya, (4) Apabila dia bersin lalu diamemuji Allah (mengucapkan ’alhamdulillah’), doakanlah dia (dengan mengucapkan ’yarhamukallah’), (5) Apabila dia sakit, jenguklah dia, dan (6) Apabila dia meninggal dunia, iringilah jenazahnya (sampai kepemakaman).” (HR. Muslim no. 2162)
Ayat dan hadist diatas adalah merupakan contoh kecil dari etika yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, maka sebagai muslim yang beriman patutlah kita mempraktekannya sebagai gambaran akhlakul karimah seorang muslim/muslimah. Karena sesungguhnya Allah SWT menyukai kebersamaan dan kerukunan.


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Rasulullah memang memiliki akhlak yang sangat mulia, yang tidak dimiliki oleh orang lain. Sifat penyabar, pemaaf, mulia hati, dan segala kepribadian yang dimilikinya.
Allah SWT. mendidik hamba-Nya yang mukmin dengan berbagai adab yang bermanfaat dalam memelihara kelestarian kecintaan pergaulan yang baik diantara mereka. Diantara adab tersebut adalah hendaklah mereka tidak memasuki rumah orang lain sebelum meminta izin dan mengucapkan salam, agar tidak melihat aurat orang yang punya rumah, dan tidak mengetahui keadaan yang biasanya ditutupi oleh manusia agar tidak diketahui orang lain.
Akhlak kepada orang tua antara lain berbakti kepada orang tua, menghormati, merawat hingga usia renta, dan yang terpenting adalah jangan sampai menyakiti hati orang tua karena bisa menimbulkan kemurkaan Allah. Disamping itu ada beberapa pelajaran tentang akhlak yaitu berbuat baik kepada karib kerabat, mengasihi anak yatim, orang miskin, serta berkata baik kepada orang lain.
Yang dihadiahkan kepada orang-orang bertaqwa adalah surga yang di dalamnya mengalir sungai sungai, buah-buahan dan naungan yang tak terhenti, sedangkan bagi orang-orang kafir adalah neraka yang penuh siksa.
Maka sebagai muslim yang beriman patutlah kita mempraktekannya sebagai gambaran akhlakul karimah seorang muslim/muslimah. Karena sesungguhnya Allah SWT menyukai kebersamaan dan kerukunan.
B.     KRITIK DAN SARAN
Demikian makalah ini dibuat, semoga dapat memberikan manfaat kepada pembaca pada umumnya dan dapat memberikan pemahaman kepada pemakalah secara khususnya. Sekian apabila ada kesalahan atau kekurangan dalam penulisan makalah ini, kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan. Dari pemakalah minta maaf atas kekurangan yang ada dan atas perhatian pembaca, kami mengucapkan terima kasih.


[1] Ahmad Khatib, Tafsir Al-Kurthubi (Jakarta: Pusta  Azzam. 2009) hal. 66
[2] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Semarang : Toha Putra, 1993) hlm 171
[3] Syaikh Imam Al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) hlm 547
[4] Ahmad Khatib, Tafsir Al-Khurtubi, (Jakarta: Pustaka Azzam,2009) hlm 542
[5] M. Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah (Tanggerang: lentera Hati .2002) hlm 320
[6] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Semarang : Toha Putra, 1993) hlm 172
[7] Departemen  Agama RI,  Al-Qur’an  dan  Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi. 2010) hal. 141
[8] Departemen  Agama RI,  Al-Qur’an  dan Tafsirnya  (Jakarta: Lentera  Abadi. 2010) hlm 142
[9]Aidh al-Qarni ,Tafsir Muyassar (Jakarta : Qisthi press:2007) hlm 359
[10] M Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah (Tangerang: lentera Hati .2002 )hlm 611
[11]M.Quraish Shihab, Al-Lubab (Tangerang: Lentera Hati, 2012) ,hlm 202