PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Iman merupakan
suatu kepercayaan, keyakinan akan hati, ucapan dan perbuatan bahwa Allah adalah
Esa. Allah menciptakan bumi dan seisinya hanya untuk manusia agar dimanfaatkan
kebaikannya. Allah juga menciptakan manusia untuk bisa beribadah, melakukan
amal baik didunia hanya untuk Allah. Kesehatan adalah hal penting bagi manusia
itu sendiri, karena jika tubuh manusia itu sehat maka dia bisa melakukan semua
aktivitas jasmani tanpa terbebani. Sehat itu adalah rizki yang tak ternilai
harganya, sebab itu manusia wajib menjaga tubuhnya agar tetap sehat untuk bisa
beribadah kepada Allah dengan mudah tanpa kesakitan dan kesusahan.
Namun,
kesehatan itu juga ada 2 macam yaitu: kesehatan jasmani dan kesehatan mental.
Dalam makalah kali ini kami akan membahas mengenai hubungan antara iman dan
kesehatan mental.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian iman?
2.
Apa
pengertian kesehatan mental?
3.
Apa
hubungan iman dan kesehatan mental?
4.
Bagaimana
indikasi mental yang sehat?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Iman
Kata iman (bahasa Arab) adalah bentuk
masdar dari kata kerja (fi’il) : ايمانا - يؤمن
– امن. Dalam bahasa Indonesia kata iman biasanya diartikan dengan
kepercayaan atau keyakinan. Sidi Ghazalba berpendapat bahwa kata iman lebih
tepat diartikan ke dalam bahasa Indonesia dengan kayakinan.
Secara terminologi iman menurut Ibrahim
(1998: 113) ialah membenarkan secara sungguh-sungguh segala sesuatu yang
diketahui sebagai berita yang dibawa Nabi Saw. Al-Qardhawi (1993: 3)
mengartikan istilah iman sebagai kepercayaan yang meresap syak dan ragu
serta memberi keyakinan bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan
sehari-hari.
Ada yang menyamakan istilah iman dengan
akidah, dan ada yang membedakannya. Bagi yang membedakan, akidah hanyalah
bagian dalam (aspek hati) dari iman, sebab iman mencakup aspek dalam dan aspek
luar. Aspek dalam berupa keyakinan dan aspek luarnya berupa pengakuan lisan dan
pembuktian dengan amal. Sumber akidah Islam adalah al-Qur'an dan as-Sunnah.
Artinya apa saja yang disampaikan oleh Allah dalam al-Qur'an dan oleh Rasulullah
dalam sunnahnya wajib diimani. (Ilyas, 1993: 4).
Akidah Islam merupakan asas ajaran
Islam. Ia menyangkut pokok-pokok kepercayaan yang harus diimani oleh setiap
muslim. Pokok-pokok iman tersebut tercakup dalam rukun iman, yaitu: (1) iman
kepada Allah; (2) iman kepada Malaikat; (3) iman kepada Kitab- kitab
suci/wahyu; (4) iman kepada para Rasul; (5) iman kepada akhirat; dan (6) iman
kepada takdir (Thayib dan Sugianto, 2002: 42).
Iman berhakikat dinamis, demikian
menurut Madjid (1995: 6) karena dia menyangkut sikap batin atau hati, yang
dalam bahasa Arab disebut qalb
(diindonesiakan menjadi kalbu) yang makna harfiahnya ialah sesuatu yang
berganti-ganti. Maka tidak mungkin membuat iman sedemikian rupa, sehingga
sekali jadi untuk selama-lamanya demikian, melainkan kita harus menumbuhkan
iman itu dalam diri kita sedemikian rupa, mungkin dari tingkat yang sederhana,
kemudian berkembang dan terus berkembang menuju kesempurnaan. Allah berfirman
dalam surat al-An’am 82 :
مُهْتَدُونَ وَهُمْ الْأَمْنُ لَهُمُ أُولَئِكَ بِظُلْمٍ إِيمَانَهُمْ ايَلْبِسُو وَلَمْ
اآمَنُو الَّذِينَ
Artinya : “Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk (Depag RI,1989: 200).[1]
B.
Pengertian
Kesehatan Mental
Adapun pengertian kesehatan mental
secara terminologi, para ahli memberikan definisi yang berbeda-beda diantaranya
seperti di bawah ini:
Kartini Kartono:
“Hygiene mental
adalah ilmu kesehatan jiwa yang memasalahkan kehidupan kerohanian yang sehat,
dengan memandang pribadi manusia sebagai satu totalitas psiko-fisik yang
kompleks”
Abdul Aziz El-Quusy :
“Kesehatan mental adalah keseriusan yang
sempurna atau integrasi antara fungsi-fungsi jiwa yang memacam-macam, disertai
kemampuan untuk menghadapi kegoncangan-kegoncangan jiwa yang ringan, yang biasa
terjadi pada orang, di samping secara positif dapat merasakan kebahagiaan dan
kemampuan”
Dadang Hawari :
“Kesehatan mental adalah kondisi yang
memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari
seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain”
Berbagai batasan
telah dibuat oleh para ahli tentang kesehatan mental. Ada yang berbendapat bahwa
sehat mental adalah terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan (batasan ini banyak
mendapat sambutan dikalangan psikiatri). Ada yang berpendapat bahwa kesehatan
mental adalah kemampuan menyesuaikan diri dalam menghadapi masalah dan goncangan-goncangan
biasa. Pendapat ketiga mengatakan bahwa kesehatan mental harus mengandung keserasian
fungsi-fungsi jiwa. Disamping itu ada pula yang berpendapat bahwa sehat mental
adalah kemampuan merasakan kebahagiaan, kekuatan dan kegunaan harga dirinya.
Batasan yang
tepat adalah batasan yang luas mencakup semua batasan yang pernah ada, yaitu:
terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan, mampu menyesuaikan diri, sanggup
mengatasi masalah-masalah dan goncangan-goncangan biasa, adanya keserasian fungsi-fungsi
jiwa (tidak ada konflik) dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna dan bahagia,
serta dapat menggunakan potensi yang ada pada dirinya secara optimal.
Menurut Zakiah
gangguan kesehatan mental dapat mempengaruhi:
a.
Perasaan;
misalnya cemas, takut, iri-dengki, sedih tak beralasan, marah oleh hal-hal
remeh, bimbang, merasa diri rendah, sombong, tertekan (frustasi), pesimis,
putus asa, apatis dan sebagainya.
b.
Pikiran;
kemampuan berfikir berkurang, sukar memusatkan perhatian, mudah lupa, tidak
dapat melanjutkan rencana yang telah dibuat.
c.
Kelakuan;
nakal, pendusta, menganiaya diri atau orang lain, menyakiti badan atau hatinya
orang dan berbagai perilaku menyimpang lainnya.
d.
Kesehatan
tubuh; penyakit jasmani yang tidak disebabkan oleh gangguan pada jasmani.[2]
C. Hubungan
Iman dan Kesehatan Mental
Iman itu sangat
diperlukan dalam hidup manusia, jika ia ingin tenang dan bahagia. Karena tidak
selamanya orang mampu menghadapi kesukaran yang menimpanya dan tidak selamanya
pula orang berhasil mencapai tujuannya dengan usaha yang terencana, teratur dan
telah diperhitungkan sebelumnya. Dan tidak selamanya pula orang berhasil
menghindarkan atau menjauhkan hal-hal yang tidak diinginkannya.
Disini
kepribadian sangat menentukan. Jika kepribadiannya utuh dan jiwanya sehat, maka
ia akan menghadapi semua masalah itu dengan tenang. Kepribadian tersebut
terkandung unsur-unsur agama dan keimanan yang cukup teguh, maka masalah yang
terjadi tersebut akan dihadapinya dengan tenang. Akan tetapi, orang yang
jiwanya goncang dan jauh dari agama boleh jadi ia akan marah tanpa sasaran yang
jelas atau memarahi orang lain, sebagai sasaran penumpahan perasaan kecewa,
marah atau sakit hati dan sebagainya.
Unsur
terpenting, yang membantu pertumbuhan dan perkembangan kejiwaan manusia adalah iman
yang direalisasikan dalam bentuk ajaran agama. Maka dalam Islam prinsip pokok
yang menjadi sumbu kehidupan manusia adalah iman, karena iman tersebut menjadi
pengendali sikap-sikap, ucapan, tindakan dan perbuatan. Tanpa kendali tersebut akan
mudahlah orang terdorong melakukan hal-hal yang merugikan dirinya atau orang
lain dan menimbulkan penyesalan dan kecemasan yang akan menyebabkan terganggunya
kesehatan jiwanya.
Seseorang yang
keimanannya telah menguasainya walaupun apapun yang terjadi tidak akan menganggu
atau mempengaruhinya. Ia yakin bahwa keimanan itu akan membawanya kepada
ketentraman dan kelegaan batin. Maka sesuatu yang diimani itu hendaknya selalu
ada dan terpelihara baik. Apabila yang dipercayai itu pada suatu ketika hilang atau
tidak menentramkannya lagi, maka disini akan timbul kegoncangan perasaan yang
kadang-kadang sampai menyebabkan terjadinya perselisihan dan keluarga atau dalam
masyarakat.
Orang-orang
yang mempercayai benda-benda keramat, azimat dan sebagainya itu biasanya selama
benda-benda tersebut ada padanya dan tampak memberi manfaat, maka ia akan merasa
tentram, akan tetapi jika benda tersebut hilang atau tidak menolongnya lagi,
maka kegelisahanlah yang akan terjadi.
Obyek keimanan
yang tidak akan berubah manfaatnya dan tidak akan pernah hilang, adalah keimanan
yang ditentukan oleh agama. Dan agama Islam, mempunyai enam macam pokok keimanan.
Semuanya itu mempunyai fungsi yang menentukan dalam kesehatan mental seseorang.
Kepercayaan tersebut ialah:
a.
Iman
kepada Allah SWT.
b.
Iman
kepada Hari Akhir.
c.
Iman
kepada Malaikat.
d.
Iman
kepada Kitab-kitab Suci.
e.
Iman
kepada Nabi-nabi.
f. Iman kepada Takdir.[3]
Dari berbagai penelitian yang telah
dilakukan oleh para pakar dapat disimpulkan bahwa; (1) komitmen agama dapat
mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit dan mempercepat penyembuhan (dengan
catatan terapi medis diberikan sebagaimana mestinya); (2) agama lebih bersifat
protektif dan pencegahan dan; (3) komitmen agama mempunyai hubungan yang
signifikan dan positif dengan keuntungan klinis (Hawari, 1996: 430). Firman
Allah dalam surat al- Fath ayat 4 :
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ
لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ
Artinya : “Allah-lah yang telah
menurunkan ketenangan jiwa ke dalam hati orang-orang mukmin, supaya keimanan
mereka bertambah di samping keimanan mereka yang sudah ada” (Depag RI, 1989:
837).
Pada ayat di atas Allah mensifati
diri-Nya bahwa Dialah Tuhan yang Maha Mengetahui dan Bijaksana yang dapat
beriman. Barang kali hubungan antara kejiwaan dan agama sebagaimana kayakinan
dan kesehatan jiwa, terletak pada sika penyerahan diri seorang terhadap suatu
kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang serupa itu diduga muncul dengan
perasaan positif seperti rasa bahagia, rasa senang, merasa dicintai atau rasa
aman.[4]
Dengan iman, seseorang memiliki tempat
bergantung, tempat mengadu dan tempat memohon apabila ia ditimpa problema atau kesusahan
hidup, baik yang berkaitan dengan perilaku fisik maupun psikis. Ketika
seseorang telah mengerahkan daya upayanya secara maksimal untuk mencapai satu
tujuan, namun tetap mengalami kegagalan, tidak berarti kemudian ia putus asa
atau bunuh diri. Keimanan akan mengarahkan seseorang untuk mengoreksi diri,
apakah prosedur yang dilakukan untuk mencapai tujuan sudah sesuai atau belum
dengan hukum-hukum Tuhan yang pasti, jika sesuai dengan hukum-hukum-Nya tetapi
masih mengalami kegagalan, maka yang perlu diperhatikan adalah hikmah dibalik
kegagalan itu (Mujib dan Yusuf Mudzakir, 2001: 151).[5]
D. Indikasi
Mental yang Sehat dalam Islam
Apabila seorang hamba Allah telah
berhasil melakukan pendidikan dan pelatihan penyehatan, pengembangan dan
pemberdayaan jiwa (mental), maka ia akan dapat mencapai tingkat kejiwaan atau
mental yang sempurna, yaitu integritasnya jiwa muthmainnah (yang tentram) , jiwa radhiyah (jiwa yang meridhai), dan jiwa yang mardhiyah (yang diridhai). Dalam eksisnya jiwa dalam tingkatan ini
seseorang akan memiliki stabilitas emosional yang tinggi dan tidak mudah
mengalami stress,depresi, dan frustasi.
1. Jiwa
Muthmainnah (yang tentram)
Jiwa
Muthmainnah adalah jiwa yang senantiasa mengajak kembali kepada fitrah Ilahiyah
Tuhannya. Etos kerja dan kinerja akal, fikiran, qalbu, inderawi,dan fisiknya
senantiasa dalam qudrat dan iradat Tuhan-nya Yang Maha Qudus dan Agung.
Indikasi hadirnya jiwa muthmainnah pada diri seseorang biasanya terlihat
perilaku,sikap,dan gerak-geriknya yang tenang,tidak tergesa-gesa,penuh
pertimbangan dan perhitungan yang matang,tepat,dan benar. Akan tetapi
ditengah-tengah sikap itu, secara diam-diam ia menelusuri hikmah-hikmah yang
terkandung dari setiap peristiwa, kejadian dan eksistensi yang terjadi.
2. Jiwa
Radhiyah (yang meridhai )
Jiwa
Radhiyah adalah jiwa yang tulus,bening dan lapang dada terhadap Allah SWT.,
terhadap kebijaksanaan, qadrat dan iradat-Nya. Jiwainilah yang mendorong diri
bersikap lapang dada, tawakal,tulus ikhlas dan sabar dalam mengaplikasikan
seluruh perintah-Nya, menjaugi seluruh larangan-Nya dan menerima dengan lapang
dada segala ujian dan cobaan yang datang dalam hidup dan kehidupannya. Biasanya
dala m diri seorang hamba yang telah mencapai tingkat kejiwaan dan mental
radhiyah, hampir-hampir mereka tidak pernah mengeluh ,merasa susah,sedih dan
takut dalam menjalani kehidupan ini.
3. Jiwa
Mardhiyah (yang diridhai)
Jiwa
Mardhiyah adalah menyatunya jiwa yang selalu ingin dan mahir kepada fitrah
Tuhannya dengan penuh kemampuan bersikap tulus dan lapang dada bersama
kehormatan dan titel ketuhanan yang memberikan otoritas penuh kepada jiwa untuk
berbuat , berkarya dan beribadah di dalam ruang dan waktu Tuhannya yang
terlepas dari jangkauan makhluk.[6]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara terminologi iman menurut Ibrahim
(1998: 113) ialah membenarkan secara sungguh-sungguh segala sesuatu yang
diketahui sebagai berita yang dibawa Nabi Saw. Al-Qardhawi (1993: 3)
mengartikan istilah iman sebagai kepercayaan yang meresap syak dan ragu
serta memberi keyakinan bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan
sehari-hari.
Kesehatan mental adalah kondisi yang
memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari
seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain.
Unsur
terpenting, yang membantu pertumbuhan dan perkembangan kejiwaan manusia adalah
iman yang direalisasikan dalam bentuk ajaran agama. Maka dalam Islam prinsip
pokok yang menjadi sumbu kehidupan manusia adalah iman, karena iman tersebut
menjadi pengendali sikap-sikap, ucapan, tindakan dan perbuatan. Tanpa kendali tersebut
akan mudahlah orang terdorong melakukan hal-hal yang merugikan dirinya atau
orang lain dan menimbulkan penyesalan dan kecemasan yang akan menyebabkan terganggunya
kesehatan jiwanya.
Apabila seorang hamba Allah telah
berhasil melakukan pendidikan dan pelatihan penyehatan, pengembangan dan
pemberdayaan jiwa (mental), maka ia akan dapat mencapai tingkat kejiwaan atau
mental yang sempurna, yaitu integritasnya jiwa muthmainnah (yang tentram) , jiwa radhiyah (jiwa yang meridhai), dan jiwa yang mardhiyah (yang diridhai).
[1] Library.walisongo.ac.id
(jtptiain-gdl-s1-2006-muhammadha-732-BAB2_110-9, pdf) hal 14-16
[3]Zakiah Daradjat,
Islam dan Kesehatan Mental, (Jakarta:
PT. Gunung Agung, 1982), hal. 9-14
[4] Jalaludin dan
Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Kalam Mulia,1993), hal
84
[6] Hamdani Bakran
Adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam : cetakan ke-3, (Jogjakarta :
Al-Manar,2004), hal 457
Tidak ada komentar:
Posting Komentar