Powered By Blogger

Sabtu, 14 Juli 2018

Makalah Iman dan Kesehatan Mental



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Iman merupakan suatu kepercayaan, keyakinan akan hati, ucapan dan perbuatan bahwa Allah adalah Esa. Allah menciptakan bumi dan seisinya hanya untuk manusia agar dimanfaatkan kebaikannya. Allah juga menciptakan manusia untuk bisa beribadah, melakukan amal baik didunia hanya untuk Allah. Kesehatan adalah hal penting bagi manusia itu sendiri, karena jika tubuh manusia itu sehat maka dia bisa melakukan semua aktivitas jasmani tanpa terbebani. Sehat itu adalah rizki yang tak ternilai harganya, sebab itu manusia wajib menjaga tubuhnya agar tetap sehat untuk bisa beribadah kepada Allah dengan mudah tanpa kesakitan dan kesusahan.
Namun, kesehatan itu juga ada 2 macam yaitu: kesehatan jasmani dan kesehatan mental. Dalam makalah kali ini kami akan membahas mengenai hubungan antara iman dan kesehatan mental.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian iman?
2.      Apa pengertian kesehatan mental?
3.      Apa hubungan iman dan kesehatan mental?
4.      Bagaimana indikasi mental yang sehat?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Iman
Kata iman (bahasa Arab) adalah bentuk masdar dari kata kerja (fi’il) : ايمانا  - يؤمنامن. Dalam bahasa Indonesia kata iman biasanya diartikan dengan kepercayaan atau keyakinan. Sidi Ghazalba berpendapat bahwa kata iman lebih tepat diartikan ke dalam bahasa Indonesia dengan kayakinan.
Secara terminologi iman menurut Ibrahim (1998: 113) ialah membenarkan secara sungguh-sungguh segala sesuatu yang diketahui sebagai berita yang dibawa Nabi Saw. Al-Qardhawi (1993: 3) mengartikan istilah iman sebagai kepercayaan yang meresap syak dan ragu serta memberi keyakinan bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari.
Ada yang menyamakan istilah iman dengan akidah, dan ada yang membedakannya. Bagi yang membedakan, akidah hanyalah bagian dalam (aspek hati) dari iman, sebab iman mencakup aspek dalam dan aspek luar. Aspek dalam berupa keyakinan dan aspek luarnya berupa pengakuan lisan dan pembuktian dengan amal. Sumber akidah Islam adalah al-Qur'an dan as-Sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh Allah dalam al-Qur'an dan oleh Rasulullah dalam sunnahnya wajib diimani. (Ilyas, 1993: 4).
Akidah Islam merupakan asas ajaran Islam. Ia menyangkut pokok-pokok kepercayaan yang harus diimani oleh setiap muslim. Pokok-pokok iman tersebut tercakup dalam rukun iman, yaitu: (1) iman kepada Allah; (2) iman kepada Malaikat; (3) iman kepada Kitab- kitab suci/wahyu; (4) iman kepada para Rasul; (5) iman kepada akhirat; dan (6) iman kepada takdir (Thayib dan Sugianto, 2002: 42).
Iman berhakikat dinamis, demikian menurut Madjid (1995: 6) karena dia menyangkut sikap batin atau hati, yang dalam bahasa Arab disebut qalb (diindonesiakan menjadi kalbu) yang makna harfiahnya ialah sesuatu yang berganti-ganti. Maka tidak mungkin membuat iman sedemikian rupa, sehingga sekali jadi untuk selama-lamanya demikian, melainkan kita harus menumbuhkan iman itu dalam diri kita sedemikian rupa, mungkin dari tingkat yang sederhana, kemudian berkembang dan terus berkembang menuju kesempurnaan. Allah berfirman dalam surat al-An’am 82 :
 مُهْتَدُونَ وَهُمْ الْأَمْنُ لَهُمُ أُولَئِكَ بِظُلْمٍ إِيمَانَهُمْ ايَلْبِسُو وَلَمْ اآمَنُو الَّذِينَ
Artinya : “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (Depag RI,1989: 200).[1]
B.     Pengertian Kesehatan Mental
Adapun pengertian kesehatan mental secara terminologi, para ahli memberikan definisi yang berbeda-beda diantaranya seperti di bawah ini:
Kartini Kartono:
Hygiene mental adalah ilmu kesehatan jiwa yang memasalahkan kehidupan kerohanian yang sehat, dengan memandang pribadi manusia sebagai satu totalitas psiko-fisik yang kompleks”
Abdul Aziz El-Quusy :
“Kesehatan mental adalah keseriusan yang sempurna atau integrasi antara fungsi-fungsi jiwa yang memacam-macam, disertai kemampuan untuk menghadapi kegoncangan-kegoncangan jiwa yang ringan, yang biasa terjadi pada orang, di samping secara positif dapat merasakan kebahagiaan dan kemampuan”
Dadang Hawari :
“Kesehatan mental adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain”
Berbagai batasan telah dibuat oleh para ahli tentang kesehatan mental. Ada yang berbendapat bahwa sehat mental adalah terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan (batasan ini banyak mendapat sambutan dikalangan psikiatri). Ada yang berpendapat bahwa kesehatan mental adalah kemampuan menyesuaikan diri dalam menghadapi masalah dan goncangan-goncangan biasa. Pendapat ketiga mengatakan bahwa kesehatan mental harus mengandung keserasian fungsi-fungsi jiwa. Disamping itu ada pula yang berpendapat bahwa sehat mental adalah kemampuan merasakan kebahagiaan, kekuatan dan kegunaan harga dirinya.
Batasan yang tepat adalah batasan yang luas mencakup semua batasan yang pernah ada, yaitu: terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan, mampu menyesuaikan diri, sanggup mengatasi masalah-masalah dan goncangan-goncangan biasa, adanya keserasian fungsi-fungsi jiwa (tidak ada konflik) dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna dan bahagia, serta dapat menggunakan potensi yang ada pada dirinya secara optimal.
Menurut Zakiah gangguan kesehatan mental dapat mempengaruhi:
a.       Perasaan; misalnya cemas, takut, iri-dengki, sedih tak beralasan, marah oleh hal-hal remeh, bimbang, merasa diri rendah, sombong, tertekan (frustasi), pesimis, putus asa, apatis dan sebagainya.
b.      Pikiran; kemampuan berfikir berkurang, sukar memusatkan perhatian, mudah lupa, tidak dapat melanjutkan rencana yang telah dibuat.
c.       Kelakuan; nakal, pendusta, menganiaya diri atau orang lain, menyakiti badan atau hatinya orang dan berbagai perilaku menyimpang lainnya.
d.      Kesehatan tubuh; penyakit jasmani yang tidak disebabkan oleh gangguan pada jasmani.[2]
C.     Hubungan Iman dan Kesehatan Mental
Iman itu sangat diperlukan dalam hidup manusia, jika ia ingin tenang dan bahagia. Karena tidak selamanya orang mampu menghadapi kesukaran yang menimpanya dan tidak selamanya pula orang berhasil mencapai tujuannya dengan usaha yang terencana, teratur dan telah diperhitungkan sebelumnya. Dan tidak selamanya pula orang berhasil menghindarkan atau menjauhkan hal-hal yang tidak diinginkannya.
Disini kepribadian sangat menentukan. Jika kepribadiannya utuh dan jiwanya sehat, maka ia akan menghadapi semua masalah itu dengan tenang. Kepribadian tersebut terkandung unsur-unsur agama dan keimanan yang cukup teguh, maka masalah yang terjadi tersebut akan dihadapinya dengan tenang. Akan tetapi, orang yang jiwanya goncang dan jauh dari agama boleh jadi ia akan marah tanpa sasaran yang jelas atau memarahi orang lain, sebagai sasaran penumpahan perasaan kecewa, marah atau sakit hati dan sebagainya.
Unsur terpenting, yang membantu pertumbuhan dan perkembangan kejiwaan manusia adalah iman yang direalisasikan dalam bentuk ajaran agama. Maka dalam Islam prinsip pokok yang menjadi sumbu kehidupan manusia adalah iman, karena iman tersebut menjadi pengendali sikap-sikap, ucapan, tindakan dan perbuatan. Tanpa kendali tersebut akan mudahlah orang terdorong melakukan hal-hal yang merugikan dirinya atau orang lain dan menimbulkan penyesalan dan kecemasan yang akan menyebabkan terganggunya kesehatan jiwanya.
Seseorang yang keimanannya telah menguasainya walaupun apapun yang terjadi tidak akan menganggu atau mempengaruhinya. Ia yakin bahwa keimanan itu akan membawanya kepada ketentraman dan kelegaan batin. Maka sesuatu yang diimani itu hendaknya selalu ada dan terpelihara baik. Apabila yang dipercayai itu pada suatu ketika hilang atau tidak menentramkannya lagi, maka disini akan timbul kegoncangan perasaan yang kadang-kadang sampai menyebabkan terjadinya perselisihan dan keluarga atau dalam masyarakat.
Orang-orang yang mempercayai benda-benda keramat, azimat dan sebagainya itu biasanya selama benda-benda tersebut ada padanya dan tampak memberi manfaat, maka ia akan merasa tentram, akan tetapi jika benda tersebut hilang atau tidak menolongnya lagi, maka kegelisahanlah yang akan terjadi.
Obyek keimanan yang tidak akan berubah manfaatnya dan tidak akan pernah hilang, adalah keimanan yang ditentukan oleh agama. Dan agama Islam, mempunyai enam macam pokok keimanan. Semuanya itu mempunyai fungsi yang menentukan dalam kesehatan mental seseorang. Kepercayaan tersebut ialah:
a.       Iman kepada Allah SWT.
b.      Iman kepada Hari Akhir.
c.       Iman kepada Malaikat.
d.      Iman kepada Kitab-kitab Suci.
e.       Iman kepada Nabi-nabi.
f.       Iman kepada Takdir.[3]
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh para pakar dapat disimpulkan bahwa; (1) komitmen agama dapat mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit dan mempercepat penyembuhan (dengan catatan terapi medis diberikan sebagaimana mestinya); (2) agama lebih bersifat protektif dan pencegahan dan; (3) komitmen agama mempunyai hubungan yang signifikan dan positif dengan keuntungan klinis (Hawari, 1996: 430). Firman Allah dalam surat al- Fath ayat 4 :
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ
Artinya : “Allah-lah yang telah menurunkan ketenangan jiwa ke dalam hati orang-orang mukmin, supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka yang sudah ada” (Depag RI, 1989: 837).
Pada ayat di atas Allah mensifati diri-Nya bahwa Dialah Tuhan yang Maha Mengetahui dan Bijaksana yang dapat beriman. Barang kali hubungan antara kejiwaan dan agama sebagaimana kayakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sika penyerahan diri seorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang serupa itu diduga muncul dengan perasaan positif seperti rasa bahagia, rasa senang, merasa dicintai atau rasa aman.[4]
Dengan iman, seseorang memiliki tempat bergantung, tempat mengadu dan tempat memohon apabila ia ditimpa problema atau kesusahan hidup, baik yang berkaitan dengan perilaku fisik maupun psikis. Ketika seseorang telah mengerahkan daya upayanya secara maksimal untuk mencapai satu tujuan, namun tetap mengalami kegagalan, tidak berarti kemudian ia putus asa atau bunuh diri. Keimanan akan mengarahkan seseorang untuk mengoreksi diri, apakah prosedur yang dilakukan untuk mencapai tujuan sudah sesuai atau belum dengan hukum-hukum Tuhan yang pasti, jika sesuai dengan hukum-hukum-Nya tetapi masih mengalami kegagalan, maka yang perlu diperhatikan adalah hikmah dibalik kegagalan itu (Mujib dan Yusuf Mudzakir, 2001: 151).[5]

D.    Indikasi Mental yang Sehat dalam Islam
Apabila seorang hamba Allah telah berhasil melakukan pendidikan dan pelatihan penyehatan, pengembangan dan pemberdayaan jiwa (mental), maka ia akan dapat mencapai tingkat kejiwaan atau mental yang sempurna, yaitu integritasnya jiwa muthmainnah (yang tentram) , jiwa radhiyah (jiwa yang meridhai), dan jiwa yang mardhiyah (yang diridhai). Dalam eksisnya jiwa dalam tingkatan ini seseorang akan memiliki stabilitas emosional yang tinggi dan tidak mudah mengalami stress,depresi, dan frustasi.
1.    Jiwa Muthmainnah (yang tentram)
Jiwa Muthmainnah adalah jiwa yang senantiasa mengajak kembali kepada fitrah Ilahiyah Tuhannya. Etos kerja dan kinerja akal, fikiran, qalbu, inderawi,dan fisiknya senantiasa dalam qudrat dan iradat Tuhan-nya Yang Maha Qudus dan Agung. Indikasi hadirnya jiwa muthmainnah pada diri seseorang biasanya terlihat perilaku,sikap,dan gerak-geriknya yang tenang,tidak tergesa-gesa,penuh pertimbangan dan perhitungan yang matang,tepat,dan benar. Akan tetapi ditengah-tengah sikap itu, secara diam-diam ia menelusuri hikmah-hikmah yang terkandung dari setiap peristiwa, kejadian dan eksistensi yang terjadi.
2.    Jiwa Radhiyah (yang meridhai )
Jiwa Radhiyah adalah jiwa yang tulus,bening dan lapang dada terhadap Allah SWT., terhadap kebijaksanaan, qadrat dan iradat-Nya. Jiwainilah yang mendorong diri bersikap lapang dada, tawakal,tulus ikhlas dan sabar dalam mengaplikasikan seluruh perintah-Nya, menjaugi seluruh larangan-Nya dan menerima dengan lapang dada segala ujian dan cobaan yang datang dalam hidup dan kehidupannya. Biasanya dala m diri seorang hamba yang telah mencapai tingkat kejiwaan dan mental radhiyah, hampir-hampir mereka tidak pernah mengeluh ,merasa susah,sedih dan takut dalam menjalani kehidupan ini.
3.    Jiwa Mardhiyah (yang diridhai)
Jiwa Mardhiyah adalah menyatunya jiwa yang selalu ingin dan mahir kepada fitrah Tuhannya dengan penuh kemampuan bersikap tulus dan lapang dada bersama kehormatan dan titel ketuhanan yang memberikan otoritas penuh kepada jiwa untuk berbuat , berkarya dan beribadah di dalam ruang dan waktu Tuhannya yang terlepas dari jangkauan makhluk.[6]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Secara terminologi iman menurut Ibrahim (1998: 113) ialah membenarkan secara sungguh-sungguh segala sesuatu yang diketahui sebagai berita yang dibawa Nabi Saw. Al-Qardhawi (1993: 3) mengartikan istilah iman sebagai kepercayaan yang meresap syak dan ragu serta memberi keyakinan bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari.
Kesehatan mental adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain.
Unsur terpenting, yang membantu pertumbuhan dan perkembangan kejiwaan manusia adalah iman yang direalisasikan dalam bentuk ajaran agama. Maka dalam Islam prinsip pokok yang menjadi sumbu kehidupan manusia adalah iman, karena iman tersebut menjadi pengendali sikap-sikap, ucapan, tindakan dan perbuatan. Tanpa kendali tersebut akan mudahlah orang terdorong melakukan hal-hal yang merugikan dirinya atau orang lain dan menimbulkan penyesalan dan kecemasan yang akan menyebabkan terganggunya kesehatan jiwanya.
Apabila seorang hamba Allah telah berhasil melakukan pendidikan dan pelatihan penyehatan, pengembangan dan pemberdayaan jiwa (mental), maka ia akan dapat mencapai tingkat kejiwaan atau mental yang sempurna, yaitu integritasnya jiwa muthmainnah (yang tentram) , jiwa radhiyah (jiwa yang meridhai), dan jiwa yang mardhiyah (yang diridhai).


[1] Library.walisongo.ac.id (jtptiain-gdl-s1-2006-muhammadha-732-BAB2_110-9, pdf) hal 14-16
[2] Zakiah Daradjat, Islam  dan Kesehatan Mental, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982), hal. 9
[3]Zakiah Daradjat, Islam  dan Kesehatan Mental, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982), hal. 9-14
[4] Jalaludin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Kalam Mulia,1993), hal 84
[5] Library.walisongo.ac.id (jtptiain-gdl-s1-2006-muhammadha-732-BAB2_110-9, pdf), hal 22
[6] Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam : cetakan ke-3, (Jogjakarta : Al-Manar,2004),  hal  457

Tidak ada komentar:

Posting Komentar